Pembaharuan Pemikiran Muhammad Arkoun
Arkoun dan Akar Epistemologi Islam
Muhammad Arkoun (2.1928), adalah seorang tokoh intelektual Muslim.
Secara cemerlang, Arkoun mengakui dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan
sejarawan-pemikiran. Karena menurutnya sejarawan-pemikir tidak hanya bertutur
“tentang” sejarah pemikiran belaka secara pasif, tapi juga aktif bertutur
“dalam” sejarah. Pengakuan Arkon sebagai sejarawan-pemikir dapat dilihat dari
tutur Arkon “dalam” sejarah atau keadaan umat yang terjadi saat ini yang tengah
mengalami keterbalakangan.
Kegelisahan Arkoun yang mewarnai disetiap pemikirannya merupakan
respon dari keprihatinan Arkoun tarhadap peradaban Islam yang Ortodoksisme
(paham yang menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti dan benar, sehingga
menganggap penafsiran yang lain adalah salah). Arkoun begitu menyesalkan pembakuan dan pembukuan doktrin ajaran Agama
yang dilakukan oleh para ulama Abbasiyah yang dianggap sebagai standarisasi.
Arkoun menilai Standarisasi dari pembakuan dan pembukuan ajaran
Islam oleh para ulama terdahulu hingga sekarang belum mengalami perubahan yang
begitu signifikan. Bahkan doktrin tersebut masih dipelajari pada masa sekarang.
Padahal kehidupan manusia selalu berubah dari masa ke masa. Para ulama fikih,
kalam, filsafat, tafsir dan akhlak tidak pernah memanfaatkan hukum-hukum dan
temuan-temuan ilmu sosial sebagai bahan pertimbangan untuk memodifikasi ataupun
memperbaharui kembali penafsiran-penafsiran ajaran agama yang telah dijadikan
standarisasi dalam ajaran agama selama ini dengan penafsiran baru yang lebih
relevan dengan perkembangan zaman pada saat sekarang. Sehingga umat Islam pada saat sekaran tidak
mampu menangkap pesan orisinil al-Quran sebagaimana ketika periode kenabian
sebagai korpus terbuka.
Menurut Arkoun, islam bukanlah agama yang kaku dan dogmatis. Oleh
karena itu, para ulama dan beliau (Arkoun) berkewajiban dalam memahami dan
menafsirkan kembali ajaran Islam yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam
hal ini, dalam bukunya: “Rethinkink Islam: Common Question, Uncommon answer,
today” Arkoun berkata:
“Saya tidak mengatakan bahwa al-Quran tidak relevan… yang saya
katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk
menafsirkan al-Quran tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru seperti
antropologi, tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode
sejarah, biologi__semuanya tidak mereka kuasai. Dengan episteme yang sama,
yakni berdasarkan karakter teksnya, al-Quran yang berbahasa Arab, dianggap
mempungai persamaan dengan teks-teks sastra, atau kitab suci lainnya”
Menanggapi persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas,
Arkoun termasuk intelektual muslim yang sangat berani melakukan pembaharuan
dalam memahami dan menafsirkan al-Quran dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan metodologi yang di impor dari barat, seperti metode penafsiran
Historis-Antropologis, Linguistik-Semiotika, dan teologis-Religius.
Bahan bacaan: Berbagai sumber
Meta Ratna Sari(Penulis adalah mahasiswa UIN Suska Riau, fakultas tarbiyah dan keguruan jurusan PAI konsentrasi Fiqh/3B)
Meta Ratna Sari(Penulis adalah mahasiswa UIN Suska Riau, fakultas tarbiyah dan keguruan jurusan PAI konsentrasi Fiqh/3B)
Komentar
Posting Komentar