Dramatisasi Pesta Demokrasi: “Pemimpin Berkualitas Terlahir dari Masyarakat yang Cerdas”
Dramatisasi Pesta Demokrasi
“Pemimpin Berkualitas Terlahir dari Masyarakat yang Cerdas”
Pemilihan umum sebagai bentuk dari sistem pemerintahan Negara
Demokrasi seakan-akan berlangsung begitu dramatis. Bagaimana tidak, pemenang
akhir dari Pesta Demokrasi bukan ditentukan oleh siapa yang
paling berkompetensi, melainkan mereka yang memiliki koneksi. Tak mengherankan pesta
demokrasi tampil sebagai panggung yang penuh dramatisasi. Jika pemenangnya
adalah mereka yang tidak hanya memiliki koneksi namun juga berkompetensi, maka
visi, misi serta janjinya akan terealisasi. Namun jika pesta demokrasi diungguli
oleh mereka yang memiliki koneksi atas kepentingan pribadi maka akan terjadi
demonstrasi dalam menyampaikan aspirasi dan menagih janji-janji.
Sebagai Negara demokrasi, maka kemenangan para pemimpin ditentukan
oleh suara terbanyak dari hasil pesta demokrasi. Namun yang menjadi
pertanyaan, sudah kah suara terbanyak tersebut merupakan suara terbaik? Yang
jelas Pemilih yang cerdas pasti akan memilih pemimpin yang berkualitas. Begitu
juga sebaliknya, pemilih yang terbuai dengan janji-janji akan memilih pemimpin
yang kelak akan mementingkan ambisi pribadi. Untuk mengetahui sejauh mana
kecerdasan masyarakat dalam memilih akan dirasakan selama lima tahun
kepemimpinan pemimpin yang mereka pilih. Dapat kita simpulkan bahwa hasil yang
diperoleh dari pesta demokrasi yang menjadi awal perjalanan suatu Negara
atau pun wilayah menjadi cerminan dari masyarakat yang berdemokrasi.
Sebuah riwayat menarik mengkisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib Karamallahu
Wajhahu pernah ditanya oleh seseorang: ”Wahai Amir al-Mu’minin, ada apa
denganmu? Mengapa pada masa pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar dan
Umar kondisi berjalan dengan tertib namun saat Usman dan engkau yang menjadi
khalifah kondisinya kacau? Kenapa manusia menyalahimu dan menyalahi Utsman
padahal mereka selalu tunduk Abu Bakar dan Umar?” dengan tenang Ali menjawab:
“Karena rakyat yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar itu adalah orang-orang
seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyat yang kupimpin saat ini adalah kamu dan
orang-orang sepertimu”.
Memaknai kisah diatas dapat kita cermati bahwa kondisi seuatu
pemerintah mencerminkan kondisi rakyat yang dipimpin. sebagai warga Negara, kita
mendambakan Negara yang aman, damai dan sejahtera dibawah pimpinan pemimpin
yang bersih, adil, jujur, amanah, cerdas, tegas dan bersahaja. Akan tetapi
untuk memparoleh pemimpin yang bersih, jujur, tegas dan bersahaja sudahkah
kita memilih pemimpin dengan cara yang bersih, adil, jujur dan cerdas, tegas
dan bersahaja?.
Harapan masyarakat yang mendambakan pemimpin yang bersih dan jujur
akan sulit terwujud jika masyarakat itu sendiri masih menerima politik uang
dari para calon pemimpin. Politik uang (Money Politics) bagaikan gunung
es terutama dikalangan masyarakat awan yang masa bodoh dengan akibat
yang akan timbul dikemudian hari andai kata yang menyuap mereka tersebut menang
dalam pemilu. Umumnya masyarakat yang menjadi korban politik uang ini memiliki
pola pikir yang dangkal. Bagi mereka hanya uang suap yang mereka terima saat
itulah yang bisa mereka nikmati, mereka tidak menyadari akan dampak dari money
politic tersebut akan berdampak pada kemajuan wilayah yang dipimpin oleh pemimpin
yang tidak bersih. Sebagai umat beragama Disamping dampak dari money politic
yang akan dirasakan ketika didunia, Rasulullah juga melaknat pemberi dan
penerima suap. Sebagaimana sabda Rasulullah saw
“ Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan
menerima suap.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Begitu
juga dengan harapan masyarakat yang mendambakan pemimpin adil dan cerdas akan
sulit diwujudkan jika masyarakat belum bisa memilih dengan adil, cerdas pula. Memilih dengan adil berarti memilih tanpa
memihak kecuali pada kebenaran. bukan berpihak karena persamaan suku, keluarga,
teman dekat ataupun kepentingan tertentu. Berlaku adil adalah seruan dari Allah
kepada kita sebagaimana dalam firmannya:
انّ اللّه
يأمربالعدوالاحسان وايتاءذى القربى وينهى عن الفخشاءوالمنكروالبغى يعظكم لعلّكم
تذكّرون٠
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran."
(An-Nahl : 90)
(An-Nahl : 90)
Memilih dengan cerdas berarti memilih pemimpin
yang memang berkompeten dalam memimpin. Apabila pemerintahan di pimpim oleh
pemimpin yang tidak kompeten maka akan terjadi kehancuran sebagaimada dalam
hadis Rasuullahl s.a.w : “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau
amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak ambisi terhadap jabatan, karena dalam
sabdanya rasulullah melarang meminta jabatan sebagaimana sabdanya
“Abu said (abdurrahman) bin
samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya
abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena
jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh allah untuk
melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan
diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah
bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih
baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu”. (H.R. bukhari dan muslim)
Pada
akhirnya, kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita termasuk kedalam
bagian masyarakat yang cerdas dalam memilih atau masih terbuai dengan
iming-iming janji dan kepentingan pribadi. Jika kita termasuk kedalam bagian
masyarakat cerdas maka kita sudah berupaya menegakkan kebenaran dalam kemajuan.
Akan tetapi jangan salahkan pemimpin yang tidak berkualitas jika kita belum
memilih dengan cerdas. Sebagai rakyat, Apa pun hasil yang diperoleh dari pesta
demokrasi kita wajib menaati pemimpin selama pemimpin tersebut masih
menegakkan shalat (menaati Allah). Kewajiban mentaati pemimpin adalah Allah
sebagaimana yang terdapat di dalam al-Quran, salah satunya berbunyi:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Qs. An-Nisa: 59)
Wa Allah a’lam bi al-Sawab.
Meta Ratna Sari
(Penulis adalah kader IPMDS (Ikatan Pelajar Mahasiswa Desa Sungai
Sarik)
Komentar
Posting Komentar