TAHKRIJ HADITS TENTANG ISTIHADHAH
TAHKRIJ HADITS TENTANG ISTIHADHAH
Akhmad Marzuki
Meily Amaliyah
Meta Ratna Sari
A. Pendahuluan
Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah al-Quran. Seiring bertukarnya zaman peran hadits semakin dibutuhkan dalam menjawab berbagai permasalahan. Setelah Rasulullah wafat tidak membuat hadits hilang dari ingatan dan amalan para umatnya. Meski demikian, tidak dapat pula dihindari bahwa setiap orang memiliki kapasitas daya ingat yang berbeda-beda. Sehingga tidak menutup kemungkinan sebagian hadits yang diterima tidak bisa diingat secara utuh. Disamping itu muncul pula orang-orang yang dengan sengaja mengada-ada suatu dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw yang menyebabkan tersebarnya hadit-Hadits maudhu ditengah-tengah umat Islam.
Upaya menjaga keotentikan hadits nabi sebenarnya telah ditunjukkan oleh para sahabat dengan cara yang sangat selektif ketika menerima hadits. Perhatian terhadap keaslian hadits tersebut terus berlanjut dari masa ke masa. Hingga disusunlah suatu metode takhrij untuk menguji kualitas dan keotentikan suatu hadits. Mentakhrij hadits merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian hadits. Salah satu metode takhrij dapat dilakukan dengan cara menelusuri keberadaan hadits dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, karya A.J. Wensinck. Berdasarkan informasi yang terdapat dalam kitab tersebut dapatlah diketahui bahwa hadits yang ditakhrij tedapat di dalam kitab hadis perawi yang meriwayatkan hadits yang sama. Dari kitab hadits inilah diperoleh sanad dan matan hadits secara lengkap. Bertolak dari sanad dan matan hadits inilah kualitas hadits diteliti.
Makalah ini menguraikan langkah-langkah yang dilakukan dalam mentahkrij hadits. Penulis mencoba untuk menyajikan takhrij hadits tentang istihadhah dengan matan hadits: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَقَالَ إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ فَاغْتَسِلِي ثُمَّ صَلِّي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
B. Metode Takhrij
Untuk mengetahui hadis tersebut dalam sumber aslinya, penulis merujuk kepada kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, karya A.J. Wensinck. Penulis menelusurinya melalui kata “حيض”.[1] Dalam kitab tersebut, penulis mendapatkan informasi sebagai berikut:
Berdasarkan informasi yang dimuat dalam kitab tersebut, terlihat bahwa hadis tentang istihadhah tersebar dalam beberapa kitab hadits. Yaitu dalam kitab hadits Shahih al-Bukhari pada bab haid dan bab wudhu, kitab Shahih Muslim pada bab haid, kitab Sunan Abu Daud bab thaharah, kitab Sunan at-Turmuzi bab thaharah, kitab Sunan an-Nasai bab thaharah dan haid, kitab Sunan Ibnu Majah bab thaharah dan wudhu, kitab Muwatta’ Imam Malik bab thaharah dan kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
C. Teks Hadits
1. Bukhari
2. Muslim
3. Tirmidzi
4. An-Nasa’i
D. Skema sanat
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari Aisyah Radliyallahu'anha, bahwa Ummu Habibah binti Jahsy meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam! Aku mengalami istihadhah? ' Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Itu darah penyakit, maka mandilah kemudian kerjakanlah shalat." Lalu dia pun mandi di setiap akan shalat”. (HR. an-Nasai)
رَسُولَ اللَّهﷺِ |
عَائِشَةَ |
عُرْوَةَ |
ابْنِ شِهَابٍ |
اللَّيْثُ |
قُتَيْبَةُ |
النَّسَاءىى |
E. Biografi Sanad
1. ‘Aisyah
Nama beliau adalah Aisyah bintu Abu Bakar Siddik, Ummu Mukmin. Ibunya ialah Ummu Ruman binti Amir. Aisyah merupakan salah satu isteri Nasi Saw yang banyak meriwayatkan hadits. Selain meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah Saw, beliau juga banyak meriwayatkan hadits dari sahabat nabi yang lain diantaranya dari Saad bin Abi Waqqas, Umar bin Khattab, Fatimah az-Zahrah binti Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat yang lainnya. Adapun periwayat lain yang meriwayatkan hadits dari Aisyah diantaranya adalah Hasan al-Basri, Sulaiman bin Yasar, Urwah bin Zubair, Urwah al-Munzi, Atha’ bin Yasar, Amru bin ’Ash dan lainnya.[11]
2. Urwah
Nama lengkap ‘Urwah adalah ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi al-Asadi, Abu Abdullah al-Madani.[12] Adapun guru ‘Urwah diantaranya Usamah bin Zaid Haritsah al-kalbiy,Basyir bin Sya’di, Zainab binti Abu Salamah, Ummu al-Mu’min (‘Aisyah), Ummu Habibah binti Abi Sofyan, dll.[13] Sedangkan diantara murid-muridnya ialah Muhammad bin Abdurrahman bin Naufal, anaknya Muhammad bin ‘Urwah bin Zubair, anaknya Yahya bin ‘Urwah bin Zubair, Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri, Muhammad bin Munkadir, dan lainnya.[14]
Komentar ulama terhadap beliau diantaranya dari Muhammad Ibnu Sa’di mengatakan Tsiqqoh dan Ahmad Bin Abdullah Al-Ijliy mengomentari Tsiqqoh.[15] ‘Urwah wafat pada tahun 94 H.
3. Ibnu Syihab
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab bin ‘Abdullah bin Harits bin Zuhrah bin Kalib bin Murrah bin Ka’bi bin Lakyi bin Ghalib al-Qarsy al-Zuhry, Abu Bakar al-Madany.[16] Guru Ibnu Syihab diantaranya ialah ‘Urwah bin Zubair, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi, ‘Uqaibah bin Suwaid al-Anshari, Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, Ali bin Abdullah bin Abbas dll.[17] Sementara murid-murid Ibnu Syihab diantaranya Ikrimah bin Khalid al-Makhzumy, Umar bin Yazid an-Nashriyy, Umar bin Harits al-Misry, Laits bin Sya’di, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishak bin Yasar, dan lainnya.
Komentar para ulama terhadap Ibnu Syihab diantaranya dari Muhammad bin Sa’di, Zuhry mengomentari bahwa Ibnu Syihab ialah Tsiqah. Ibnu Syihab wafat pada tahun 124 H.
4. Laits
Nama lengkap Laits yang dimaksud ialah Laits bin Sya’di bin Abdurrahman al-Fahmi. Beliau mendapat julukan Abu Harits al-Mishri. Diantara guru-guru Laits adalah Qais bin Hajjaj, Muhammad bin Abdurrahman bin Anj, Muhammad bin Ajlan, Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhry, Muhammad bin Yahya, Hisyam bin Sa’di, Najih Abi Ma’syar al-Madani dan lainnya. Adapun diantara murid-muridnya adalah Qutaibah bin Sa’id al-Balkhiy, Qutaibah bin Mihran al-Ashbahany, Abu Salamah Mansur ibnu Salamah al-Khuza’I, Yahya bin Abdullah bin Bukair, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Yahya bin Yahya an-Naisamburi, Yakub bin Ibrahim bin Sa’di, dan lainnya.[18]
5. Qutaibah
Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah ats-Tsaqafi, adapun panggilan beliau adalah Abu Rojak al-Balkhi al-Baghlani. Qutaibah banyak meriwayatkan hadits dari para gurunya. Diantara guru-guru Qutaibah ialah al-Laits Ibnu Sa’di, Malik bin Anas, Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik, Muhammad Abi Abdullah al-Anshari, Waki’ bin Jarrah, Walid bin Muslim, dan lainnya. Sebagi perawi hadits, Qutaibah memiliki banyak murid yang diriwayatka darinya. Diantaranya murid-murid Qutaibah ialah Ahmad bin Sa’id ad-Darimi, Ahmad bin Sayyar al-Marwazy, Ahmad bin Abdurrahman bin Basyar an-Nasa’i, dan lainnya.
Komentar ulama terhadap beliau diantaranya menurut Ahmad bin Abi Khaithamah, Yahya bin Ma’in, Abu Khatam, An-Nasa’i menyatakan behwa Qutaibah ialah Tsiqoh, Zad an-Nasa’i mengatakan shaduq,dan Ibnu Khirasy mengatakan shaduq. Qutaibah tutu usia pada tahun 240 H.
6. An-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar bin Abdurrahman an-Nasa’i.[19] Beliau merupakan perawi hadits yang tsiqah, para ulama banyak memberikan pujian terhadap beliau diantaranya sebagaimana yang dinukil oleh Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy dalam kitabnya Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal bahwa Abdurrahman Muhammad bin Husein as-Sulamy as-Shufi Berkata: Aba Hasan Ali bin Amr ad-Daruqutni ditanya, jika Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah dan Ahmad bin Syuaib an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits maka siapakah dari keduanya yang lebih dikedepankan. Beliau menjawab: an-Nasa’i lebih dikedepankan karena beliau lebih memahami tentang sanad. Aku tidak mendahulukan orang lain dalam bidang ini ketimbang beliau mesipun Ibnu Khuzaimah juga seorang imam yang kuat yang tidak tertandingi.[20] Beliau wafat pada tahun 303 di Palestina.[21]
F. Komentar Ulama terhadap Rawi
No |
Nama Rawi |
Th.Wafat/Umur |
Kritik Ulama |
|
Ta’dil |
Tajrih |
|||
1 |
Aisyah[22] |
58 |
Semua sahabat adalah adil |
|
2 |
‘Urwah |
94 |
-Muhammad Ibnu Sa’di : Tsiqqoh[23] - Ahmad Bin Abdullah Al-Ijliy : Tsiqqoh[24]
|
|
3 |
Ibnu Syihab |
124 |
-Muhammad bin Sa’di, Zuhry: Tsiqah[25]
|
|
4 |
Al- laits |
175 |
-Abu Daud, Muhammad Bin Husain, Ahmad : Tsiqqoh.[26] -Ishak bin Mansur, Abu Bakar bin Abi Khaitsamah, ‘an Yahya bin Ma’in, Abu Abdurrahman an-Nasa’i: Tsiqah[27]
|
|
5 |
Qutaibah |
240 |
-Ahmad bin Abi Khaithamah, Yahya bin Ma’in, Abu Khatam, An-Nasa’I: Tsiqoh -Zad an-Nasa’i: shaduq -Ibnu Khirasy: shaduq[28] |
|
6 |
An-Nasai |
303 H[29] |
Ibnu Yunus :tsiqah[30] |
|
G. Analisa Sanad
Meneliti kualitas hadis, maksudnya adalah terpenuhi atau tidak hadis tersebut segala syarat atau kriteria hadis shahih, yaitu sanad bersambung (ittishal al-sanad), seluruh periwayat bersifat ‘adil dan dhabith, periwayatan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[31]
1. Sanad bersambung (ittishal al-sanad)
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: 1) hubungan kezamanan masa hidup antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad; 2) hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis antara para periwayat yang terdekat dalam sanad; dan 3) kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad.[32]
Jika dilihat hubungan kezamanan pada masa hidup para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i tersebut, yaitu dengan memperhatikan tahun wafat masing-masing periwayat, maka terlihat bahwa antara mereka terjadi liqa` dan mu’asharah.
Jika memperhatikan hubungan guru murid antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad hadis tersebut, maka dikategorikan bersambung (muttashil), sebagaimana terlihat dalam biografi masing-masing periwayat.
Dengan demikian, sanad hadis riwayat an-Nasa’i tersebut memenuhi syarat-syarat di atas. Maka sanad hadis tersebut dapat dikategorikan muttashil.
2. Ke’adilan dan kedhabitan periwayat
Jika ditinjau dari segi ke’adilan dan kedhabitan para periwayatnya, dari komentar yang diberikan oleh para ulama terlihat bahwa semua perawi yang terdapat pada sanad jalur an-Nasa’i ini adalah Tsiqah
3. Terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan‘illat (cacat)
Sanad yang terhidar dari syuzuz, maksudnya adalah riwayat seorang periwayat yang tsiqah tidak bertentangan dengan riwayat para yang tsiqah lainnya.[33] Setelah dilakukan penelitian, ternyata sanad hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i tersebut tidak bertentangan dengan riwayat rawi yang lainnya. Dengan demikian, sanad hadis tersebut terhindar syuzuz.
Sanad hadis yang terhindar dari ‘illat adalah sanad yang tidak memiliki cacat (‘illat) yang dapat mencemarkan periwayatan suatu hadis.[34] Setelah dilakukan penelitian sanad an-Nasa’i ini tidak memiliki cacat yang dapat mencemarkan periwayatan mereka, bertarti sanad hadis tersebut tidak mengandung‘illat. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa sanad hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i tersebut dinilai bersambung (muttashil), para perawinya adalah ‘adil dan dhabith, serta tidak mengandung sudzudz dan ‘illat. Dengan demikian, hadis tersebut dikategorikan hadis shahih.
H. Analisa matan
Jika hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasai tersebut dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lain, maka hadis tersebut diriwayatkan secara makna. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana yang dikutip oleh Khalil Syu’aib menyebutkan bahwa sebagian ahli hadis, ahli fiqih dan ahli ushul mengharuskan para perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, sekali-kali tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya. Namun demikian, Jumhur ulama berpendapat bahwa boleh bagi perawi hadis yang menyebutkan makna bukan lafaz, yaitu dengan meriwayatkan hadis berdasarkan maknaya.
Meriwayatkan hadits berdasarkan maknanya diperbolehkan apabila perawi adalah seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang menyusun kalimat-kalimatnya, disamping itu juga mengetahui tentang makna-makna lafaz serta mengetahui hal-hal yang merobah makna. Sehingga hadits yang diriwayatkannya tersebut tidak merubah maknanya. Namun apabila perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengarnya.[35]
Berdasarkan pendapat di atas, kemudian memperhatikan karakter para periwayat dalam sanad hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i, terlihat bahwa perawi tersebut termasuk orang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna. Hal ini dapat dilihat laqab yang diberikan kepada mereka, disandarkan kepada suku-suku dan daerah-daerah yang berada di kawasan Arab, dengan demikian dapat dipahami bahwa mereka termasuk orang-orang mengetahui bahasa Arab.
I. Penjelasan Tematik Hadits
Istihadhah secara bahasa adalah sayalaan yang berarti mengalir atau aliran.[36] Sedangkan menurut istilah istihadhah adalah darah yang keluar dari vagina perempuan di selain dari hari-hari keluarnya darah haidl dan nifas, dan dalam keadaan tidak sehat.[37] Darah istihadhah menurut Imamiyah terbagi kedalam tiga bagian yaitu:
1. Istihadhah kecil
Istihadhah kecil yaitu keluar darah sedikit sekedar membasahi kapas. Istihadhah yang seperti ini harus berwudhu dan mengganti kapas pada setiap kali shalat. Dengan kata lain tidak boleh satu kali wudhu untuk dua shalat.
2. Istihadhah menengah
Istihadhah menengah yaitu apabila darahnya membasahi semua kapas namun tidak sampai mengalir maka harus mandi setiap hari dan harus berwudhu serta mengganti kapas setiap akan menunaikan shalat.
3. Istihadhah besar
Istihadhah besar yaitu apabila darahnya mengalir dengan banyak maka diharuskan untuk mandi tiga kali sehari dan juga berwudhu serta mengganti kapas setiap akan melaksanakan shalat.[38]
Kebanyakan ulama Imamiyah mengharuskan untuk berwudhu dan mengganti kapas setiap shalat. Dari pembagian diatas terlihat bahwa istihadhah kecil dihukumi sama dengan hadas kecil. Sedangkan istihadhah menengah dan besar sama dengan hadas besar yaitu diharuskan mandi terlebih dahulu. Selain shalat, Imamiyah juga berpendapat bahwa wanita yang sedang istihadhah juga diperbolehkan untuk memasuki masjid, tawaf dan bersetubuh.[39]
Mazhab-mazhab yang lainya tidak menerima pembagian ini, dijelaskan bahwa wanita yang istihadhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun dan dalam waktu apapun keculi hanya satu kali yaitu pada waktu haidhnya telah selesai. Dengan demikian mandi hanya dimaksudkan untuk bersuci dari haidh bukan istihadhah.
Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Safi’i dan Hambali wanita yang mengalami isihadhah tidak terhalang untuk melakukan sesuatu yang dilarang ketika haidh, baik itu membaca al-Quran, menyentuhnya, masuk masjid, I’tikaf, thawaf, bersetubuh dan perbuatan lainnya yang dilarang bagi orang yang berhadas besar.[40]
J. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah ditelusuri dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, karya A.J. Wensinck , ternyata hadits tentang istihadhah tersebut tersebar dalam beberapa kitab yaitu kitab hadits Shahih al-Bukhari pada bab haid dan bab wudhu, kitab Shahih Muslim pada bab haid, kitab Sunan Abu Daud bab thaharah, kitab Sunan at-Turmuzi bab thaharah, kitab Sunan an-Nasai bab thaharah dan haid, kitab Sunan Ibnu Majah bab thaharah dan wudhu, kitab Muwatta’ Imam Malik bab thaharah dan kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i tersebut memenuhi kriteria hadis shahih, yaitu sanadnya bersambung (ittishal al-sanad), periwayat tsiqah, dan juga terhindar dari syuzuz dan ‘illat.
3. Hadits tersebut menjelaskan tentang Ummu Habibah binti Jahsy bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai darah istihadah yang dialamuinya.
4. Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fikih dalam masalah keharusan mandi sebelum shalat bagi wanita yang mengalami istihadhah. Ulama Imamiyah mengharuskan mandi apabila darah yang keluar tersebut banyak. Sedangkan menurut imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak mewajibkan untuk mandi setiap akan melaksanakan shalat. Mandi dimaksudkan hanya untuk bersuci dari haidh bukan dari istihadhah.
Referensi
al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. 2002. Shahih Bukhari. Jilid I. Beirut: Dar Ibnu Katsir.
al-‘Asqalany, Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar. 1994. Tahdzib al-Tahdzib. Juz 1. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
al-Mizzy, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 1. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
------------. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 20. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
------------. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 23. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
------------. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 24. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
------------. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 26. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
------------. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal. Jilid 35. Beirut : Mu’assasah al-Risalah.
al-Tirmidzi, Al-Imam al-Hafidz Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. Jami’ Kabir. Jilid 1. Beirut : Dar Gharibi al-Islami.
Atjeh, Aboebakar. 1997. Ilmu Fiqih dalan Lima Mazhab untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Islamic Research Institute.
Barakah, Ainun. Juni 2015. “Istihadhah dan Problematika dalam Kehidupan Praktis Masyarakat”. Cendikia; Jurnal Studi Keislaman.Vol 1. No 1.
Ghazzi, Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad. 2005. Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar. Dar ibn Hazm: Beirut-Libanon.
Imam Nawawi. 1994. Shahih Muslim Bisyarah Nawawi. Juz 4. t.tp: Muassisah Qurtubah.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
Suyuthi, Hafiz Jalaludin. 1138. Sunan an-Nasa’i bi Syarah Hafiz Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah al-Imam Sindy. Juz I. Bairut- Lebanon: Darul Ma’rifah.
Syu’aib, Kholil. Contoh Tahkrij Hadits. Softcopy
Wensinck, A. J. 1967. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi. Juz 1. Leiden : E.J. Brill.
[1] A. J. Wensinck, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, Juz 1, (Leiden : E.J. Brill, 1967), 536.
[2] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002), 67.
[3] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,85.
[4] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,88.
[5] Imam Nawawi, Shahih Muslim Bisyarah Nawawi, Juz 4, (t.tp: Muassisah Qurtubah, 1994), 23.
[6] Al-Imam al-Hafidz Abi Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Jami’ Kabir, Jilid 1, (Beirut : Dar Gharibi al-Islami, 1996), 167.
[7] Hafiz Jalaludin Suyuthi, Sunan an-Nasa’i bi Syarah Hafiz Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah al-Imam Sindy, Juz I, (Bairut- Lebanon: Darul Ma’rifah,1138 H), 198.
[8] Hafiz Jalaludin Suyuthi, Sunan an-Nasa’i bi Syarah Hafiz Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah al-Imam Sindy, Juz I, 199.
[9]Hafiz Jalaludin Suyuthi, Sunan an-Nasa’i bi Syarah Hafiz Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah al-Imam Sindy, Juz I , 200.
[10] Sunan an-Nasa’I bi Syarah Hafiz Jalaluddin Suyuthi wa Hasyiyah al-Imam Sindy (Bairut- Lebanon: Darul Ma’rifah,1138 H), 200.
[11] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 35, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 227.
[12] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 11.
[13] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, 13.
[14] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, 15.
[15]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, 16.
[16] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 26, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 420.
[17]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 26, 424.
[18] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 24, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 260.
[19]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 1, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 328.
[20] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 1, 334.
[21] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 1, 340.
[22] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 35, 227.
[23]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, 15.
[24]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 20, 16.
[25]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 26, 441.
[26] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 24, 261.
[27] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 24, 263.
[28] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 23, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1994), 529.
[29] Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzy, Tahdzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, Jilid 1, 340.
[30] Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, Juz 1, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 39.
[31] Kholil Syu’aib, Contoh Tahkrij Hadits, Softcopy.
[32] Kholil Syu’aib, Contoh Tahkrij Hadits, Softcopy.
[33] Kholil Syu’aib, Contoh Tahkrij Hadits, Softcopy.
[34] Kholil Syu’aib, Contoh Tahkrij Hadits, Softcopy.
[35] Kholil Syu’aib, Contoh Tahkrij Hadits, Softcopy.
[36] Ainun Barakah, “Istihadhah dan Problematika dalam Kehidupan Praktis Masyarakat”, (Cendikia; Jurnal Studi Keislaman,Vol 1, No 1, Juni 2015), 2.
[37] Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad Ghazzi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar, (Dar ibn Hazm: Beirut-Libanon,2005), 61.
[38]Aboebakar Atjeh, Ilmu Fiqih dalan Lima Mazhab untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Islamic Research Institute, 1997), 69
[39] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2011), 47.
[40] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, 47.
Komentar
Posting Komentar