Islam dan Problematika Ekonomi
Islam dan Problematika Ekonomi
Siti Maimunah (11611201687)
Pembimbing:
Irwandi, S.Sy., ME.,Sy.
A. Ekonomi Islam
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan definisi ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara Islami di sini adalah cara-cara yang didasarkan pada atas dasar ajaran agama Islam, yaitu alquran dan dan sunnah Nabi. Dengan pengertian seperti ini maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomi Islam.
Ekonomi Islam bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas Muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan perilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis, dan mengajukan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran Islam secara kaffah dalam aspek ekonomi. Oleh karena itu, perekonomian Islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam yang diharapkan, yang belum tentu tercermin pada perilaku masyarakat Muslim yang ada pada saat ini.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip nilai-nilai alqur’an dan sunnah.[1]
B. Sekilas Kajian Ekonomi Islam dalam lintas Sejarah
Kemunculan ilmu ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. sejarah telah membuktikan bahwa intelektual muslim merupakan intelek yang sangat banyak menulis berbagai permasalahan ekonomi. Salah satu intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang ekonomi adalah Ibnu Khaldun.[2]
Ibnu Khaldun adalah ilmuwan muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik dan kebudayaan. Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun yang sangat menonjol dan amat penting untuk dibahas adalah pemikirannya tentang ekonomi. Pentingnya pembahasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena pemikirannya memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam ke depan. Begitu besar sumbangsih pemikirannya tentang ekonomi sehingga ia layak dinobatkan sebagai Bapak Ekonomi. Hal tersebut dikarenakan banyak teori ekonomi Ibnu Khaldun yang jauh mendahului Adam Smith (Bapak Ekonomi Konvensional) dan Ricardo lebih dari tiga abad mendahului dua pemikir Barat modern tersebut.[3]
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi sebagai berikut:
“Ibun Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur”.[4]
Mencermati pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi dapat dipahami bahwa ekonomi tidak hanya berkutat pada masalah keuangan saja, melainkan seluruh elemen dan permasalahan ekonomi seperti ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya.
Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran resminya di Eropa. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang.
Ekonomi Islam di masa lampau tersebut telah berkembang dengan begitu pesatnya. Tetapi sangat disayangkan, sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20, ajaran-ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan oleh sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam sejarah dan mengalami stagnasi. Ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi sehingga masuklah kolonialisme barat dan mengajarkan doktrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 s/d abad 20.
Proses ini berlangsung lama, sehingga ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori Islam menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mala justru terjadi penolakan akibat kristalisasi pemikiran ekonomi ribawi (kapitalisme). Padahal ekonomi syariah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan. Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim masa lalu) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah itu sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim kontemporer).[5]
Adapun sistem ekonomi di Indonesia berorientasi kepada sistem ekonomi campuran, sebuah sistem ekonomi yang biasa digunakan oleh negara berkembang. Kebijakan ekonomi Indonesia berdasarkan sistem ekonomi campuran masih mengarah kepada sistem atau kebijakan ekonomi kapitalis yang terbukti hanya memberikan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara. Secara garis besar, sistem ekonomi di Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Adapun secara prospek ekonomi Islam di Indonesia diantaranya diberlakukannya UU perbankan syari’ah No. 21 tahun 2008 sebagai landasan hukum praktik bank syari’ah cukup membantu dan menjamin eksistensi ekonomi Islam di Indonesia.[6] Sejarah akan mencatat eksistensi ekonomi Islam di Indonesia pada saat ini akan menjadi tolak awal kebangkitan ekonomi Islam pada masa yang akan datang.
C. Permasalahan Ekonomi
Permasalahan ekonomi memiliki cakupan yang banyak. Pada makalah ini penulis akan mengemukakan tiga permasalahan ekonomi yang dianggap selalu menjadi topik kajian dari waktu kewaktu, terutama bagi Negara yang sedang berkembang. Beberapa permasalahan yang terpenting dalam perekonomian suatu negara atau negara yang sedang berkembang tersebut adalah masalah inflasi, beban hutang dan riba.
1. Masalah Inflasi
Inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli. Sementara itu pengertian inflasi juga sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum dan terus-menerus, dalam waktu dan tempat tertentu. Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian negara, selain pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran.
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.[7]
Inflasi cenderung meredistribusikan pendapat ke atas sehingga menjomplangkan keseimbangan terhadap keadilan sosioekonomi. Sebenarnya ini saja sudah cukup dengan tidak memberikan waktu istirahat untuk berpikir bagi para ekonom pembangunan. Namun, masih ada lagi dampak buruknya pada pembangunan dan akan terus begitu untuk beberapa waktu di masa yang akan datang.
Inflasi menimbulkan kontrol-kontrol harga dan subsidi pada bahan-bahan pokok makanan dan bahan-bahan penting lainnya untuk dikonsumsi. Sementara kontrol-kontrol harga merugikan pertumbuhan penawaran barang-barang dalam jangka panjang. Subsidi mengisi anggaran pemeruntahan dengan beban berat yang sulit dipikul.. inflasi juga menimbulkan kurs yang terlalu tinggi, yang sengaja dipakai pemerintah untuk menekan dorongan-dorongan inflasioner. Ini akan menggalakkan impor dan merugikan ekspor komoditas-komoditas karena tidak bisa bersaing di pasaran internasional. Sektor pertanian dan IKM adalah sektor-sektor yng paling dirugikan karena mereka tidak mendapat dukungan seperti yang didapatkan oleh industri berskala besar. Ketergantungan kepada impor bertambah dan defisit nilai tukar juga terus meningkat. Ini menambah perlunya pinjaman sehingga memperburuk beban cicilan hutang.
Meskipun begitu, pemerintah sekarang seperti dalam tekanan Bank Dunia dan IMF, harus menghapuskan kontrol-kontrol harga dan subsidi serta mengadopsi sistem nilai tukar yang realistis. Namun, hal itu sulit dilakukan karena dampak buruknya pada ongkos hidup. Karena itu Sir Arthur Lewis pada akhirnya meneriakkan, “Pelajaran pokok yang dapat kita petik, baik bagi negara-negara yang kurang berkembang maupun yang telah maju, bahwa inflasi merupakan biang keroknya”.[8]
2. Beban Hutang
Masalah hutang sebagai sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah menjadi bahan perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow, posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai pembangunan ekonomi. Meningkatnya beban hutang disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks, namun secara garis besar berasal dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berupa; pertama, Tingkat konsumsi yang berlebihan dan meningkatnya defisit anggaran yang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: meningkatnya impor, meningkatnya beban pembayaran hutang luar negeri dan capital outflow. Meningkatnya budged defisit juga disebabkan oleh strategl pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan, sehingga banyak m.embutuhkan outsource financing. Kedua, Pengelolaan ekonomi yang buruk, terutama pengelolaan hutang, sehingga kinerja ekonomi (Inflasi, nilai tukar, transaksl berjalan, dan Iain-Iain).
Adapun faktor eksternal diantaranya; pertama, disebabkan oleh menguatnya dollar terhadap beberapa mata uang negara berkembang, kedua, Menaiknya suku bunga riil.[9]
Sebagai akibat dari besarnya pinjaman maka utang internal dan eksternal negara-negara berkembang meningkat tajam. Pada awalnya ini dijustifikasi secara diam-diam. Tetapi kini ketidakseimbangan internal dan eksternal yang dihadapi oleh negara-negara berkembang telah menjadi sedemikian serius sehingga berubah menjadi mimpi buruk bagi semua kalangan yang prihatin terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan dan kesehatan sistem keuangan domestik maupun internasional.
Dengan menggunakan pasar keuangan domestik yang dangkal untuk pinjaman pemerintah yang besar, tidak saja berakibat pada pengangguran kiprah sektor swasta, tetapi juga memperlemah institusi keuangan, karena dipenuhi oleh hutang-hutang pemerintah yang mengandung keuntungan rendah (low-yield), mereka tidak mampu menyediakan cadangan devisa yang cukup untuk menutupi kerugian lewat hutang-hutang jangka pendek (bad debt).
Ketergantungan yang begitu besar pada bank-bank multinasional untuk pinjaman eksternal, yang pada mulanya dijustifikasi atas dasar ketidakmampuan mengembalikan pinjaman oleh pengutang, telh meningkatkan beban hutang pada tingkat yang tidak dapat dipikul lagi. Sehingga ketidakmampuan negara-negara pengutang untuk membayar cicilan hutangnya telah mengancam sendi-sendi kehidupan bank-bank ini. Bahkan, proses pembangunan kini terancam berantakan. Laju riil pertumbuhan juga turun. Usaha-usaha untyk mengurangi inflasi dan ketidakseimbangan eksternal barangkali akan memperlambat pertumbuhan itu lebih jauh lagi.[10]
3. Riba
Riba tidak hanya dihadapi oleh kaum muslim. Agama samawi yang datang sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani) pun telah melarangnya. Para filosuf Yunani juga menyatakan penolakan terhadap praktek yang merusak ini. Mereka bahkan menganggap bunga sebagai suatu yang hina dan keji.[11] Bahkan para tokoh filsafat Yunani kuno dan klasik pun juga sudah memberikan perhatian terhadap masalah riba ini, seperti Solon yang melarang riba dalam UU Athena Klasik. Plato dalam Qanun-nya The Law of Plato menegaskan bahwa orang tidak diperbolehkan meminjamkan uangnya dengan rente (bunga). Aristoteles dalam bukunya as-Siyasah, bahwa uang adalah alat jual beli, sementara hutang merupakan hasil dari jual beli itu. Sedangkan bunga (rente) uang yang lahir dari uang. Orang yang meminjamkan uangnya dengan rente merupakan pekerjaan yang hina dan kita wajib menolaknya.[12]
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah tehnis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[13]
Adapun macam-macam riba, menurut para Fuqaha’ Mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah membagi riba menjadi dua, yaitu riba an-nasi’ah dan riba al-fadl. Sedangkan menurut Fuqaha Syafi’iyyah, riba dibagi menjadi tiga macam, yaitu riba an-nasi’ah, riba al-fadl, dan riba al-yad. Dalam pandangan Jumhur Ulama, riba al-yad termasuk dalam riba an-nasi’ah.[14]
Riba nasiah adalah riba tambahan pembayaran atas jumlah modal yang di syaratkan yang harus dibayar oleh peminjam. Unsure yang terdapat dalam riba nasyiah berupa; pertama, adanya pembayaran atau modal yang dipinjamkan. Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang di berikan. Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.[15]
Riba al-fadl merupakan riba dalam akad jual beli, yakni kelebihan salah satu nilai (jumlah) barang dalam akad jual beli antara dua barang yang sama jenisnya, seperti kelebihan salah satu pihak dalam akad jual beli antara gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, dll.
Pada dasarnya riba yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah riba an-nasi`ah (QS. ar-Rum:39)[16]. Sedangkan riba al-fadl dilarang dalam Sunnah[17] yang secara teknis dapat dijelaskan melalui metode qiyas dan sadd az-zari’ah. Secara qiyasi, dalam praktek jual beli barang pokok sejenis ini sangat rawan terjadi kelebihan di salah satu pihak dengan tanpa pengganti yang sebanding dari pihak lain. Sebagai antisipasi hukum maka dengan pendekatan sadd az-zari’ah jenis akad barang sejenis ini disyaratkan senilai (sama takaran dan timbangannya) dan harus tunai. Dengan kata lain, dilarangnya riba al-fadl ini karena dikhawatirkan akan mendorong kepada riba an-nasi`ah.[18]
Riba Yad adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Atau jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapa pun sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama. Dengan kata lain akad sudah final, namun belum ada serah terima barang.[19]
D. Kesimpulan
Ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara Islami di sini adalah cara-cara yang didasarkan pada atas dasar ajaran agama Islam, yaitu alquran dan dan sunnah Nabi.
sejarah telah membuktikan bahwa intelektual muslim merupakan intelek yang sangat banyak menulis berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi Islam di masa lampau tersebut telah berkembang dengan begitu pesatnya. Tetapi sangat disayangkan, sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20, ajaran-ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan oleh sebagian besar kaum muslimin.
Permasalahan ekonomi memiliki cakupan yang banyak. Beberapa permasalahan yang terpenting dalam perekonomian suatu negara atau negara yang sedang berkembang tersebut adalah masalah inflasi, beban hutang dan riba.
E. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari uraian di atas, makalah ini hanya membahas tiga problematika ekonomi yaitu permasalahan inflasi, beban hutang dan riba. Tentu sangant berpeluang bagi penulis lain untuk pengkaji problematika ekonomi Islam lainnya.
Referensi
al- Quran
al- Hadits Bukhari
Anto, MB Hendrie. 2001. “Perspektif Islam tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang Luar Negeri Negara-negara Islam”. unisia. NO. 43/XXIV/I.
Arifin, Lalu Fahmi Zainul. 2013. “Konseptualisasi Pelarangan Riba sebagai Transaksi Terlarang”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam. Vol 3. No. 1.
Chapra, M. Umer. 2000. Islam Dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press.
Ghazaly, Abdul Rahman Dkk. 2015. Fikih Muamalat. Jakarta: Kencana.
Imama, Lely Shofa. Desember 2008, “Ekonomi Islam: Rasional dan Relevan”. La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam. Vol II. No 2.
Mughits, Abdul. 2009 “Ketidakpastian Jenis dan Kriteria Hukum Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama”. Jurnal Asy-Syir’ah. Vol 43. No I.
Nawatmi, Sri. Mei 2010. “Pandangan Islam terhadap Bunga”. Dinamika Keuangan dan Perbankan. Vol 2. No 1.
Pangiuk, Ambok. 2013. “Inflasi pada Fenomena Sosial Ekonomi; Menurut Al-Maqrizi”. Kontekstualita. Vol 28. No 1.
Priyono dan Zainuddin Ismail. 2012. Teori Ekonomi. T.Tp: Dharma Ilmu.
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Ilam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam. 2015. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wahab, Fatkhul. 2017. “Riba: Transaksi Kotor Dalam Ekonomi”. Iqtishodia Jurnal Ekonomi Syariah. Vol 02. No 02.
Yusup, Asdar. Desember 2014. “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam; Muh. Abdul Mannan versus Syed Nawab Haedir Naqvi”. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol 11. No 2.
[1]Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Ilam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia, 19.
[2] Ibnu Khaldun bernama lengkap Abu Zayd ‘Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, lahir pada tanggal 27 Mei 2332 M/ 732 H dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406 M/ 808 H. Beliau adalah seorang sejarawan Muslim yang berasal dari Tunisia dan sering juga disebut sebagai pendiri ilmu historiografi, sosiologi, serta ekonomi. Karyanya yang paling fenomenal adalah Muqaddimah. (Lihat: Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi)
[3] Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi, (T.Tp: Dharma Ilmu, 2012), 458.
[4] Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi, 459.
[5] Asdar Yusup, “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam; Muh. Abdul Mannan versus Syed Nawab Haedir Naqvi”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 2, Desember 2014, 222.
[6] Lely Shofa Imama, “Ekonomi Islam: Rasional dan Relevan”, La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II, No. 2, Desember 2008, 314.
[7] Ambok Pangiuk, “Inflasi pada Fenomena Sosial Ekonomi; Menurut Al-Maqrizi”, Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013, 150.
[8]M. Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 166.
[9] MB HendrieAnto, “Perspektif Islam tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang Luar Negeri Negara-negara Islam”, unisia, NO. 43/XXIV/I, 2001, 491.
[10]M. Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi, 167.
[11] Lalu Fahmi Zainul Arifin, “Konseptualisasi Pelarangan Riba sebagai Transaksi Terlarang”, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1, 2013, 40.
[12] Abdul Mughits, “Ketidakpastian Jenis dan Kriteria Hukum Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama”, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. I, 2009, 74.
[13] Sri Nawatmi, “Pandangan Islam terhadap Bunga”, Dinamika Keuangan dan Perbankan, Vol. 2 No. 1, Mei 2010, 38.
[14] Abdul Mughits, “Ketidakpastian Jenis dan Kriteria Hukum Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama”, 79.
[15] Abdul Rahman Ghazaly. Dkk, Fikih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2015), 219.
[16] “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.(QS. Ar-Rum:39)
وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩
[17] Telah menceritakan kepada saya 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus mengabarkan kepadanya bahwa dia mencari sharf (barang dagangan) yang akan dibelinya dengan seratus dirham. Maka Tholhah bin 'Ubaidullah memanggilku lalu kami saling mengemukakan harga dia membeli dariku lalu dia mengambil emas sebagai ganti pembayarannya seraya berkata: "Hingga tukang gudang kami datang dari hutan". 'Umar mendengar perkataan itu lalu berkata: "Demi Allah, janganlah kamu meninggalkan dia hingga kamu ambil bayaran darinya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash) dan kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash)."(HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَدَعَانِي طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَتَرَاوَضْنَا حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّي فَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِيَ خَازِنِي مِنْ الْغَابَةِ وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَا تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Telah menceritakan kepada saya Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus bahwa dia mendengar 'Umar radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash) ". (HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
[18] Abdul Mughits, “Ketidakpastian Jenis dan Kriteria Hukum Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama”, 80.
[19] Fatkhul Wahab, “Riba: Transaksi Kotor Dalam Ekonomi”, Iqtishodia Jurnal Ekonomi Syariah, Vol.02 No.02, 2017, 29.
Komentar
Posting Komentar