Zakat Profesi
Zakat Profesi
Meta Ratna Sari
metaratnasari06 @gmail.com
Siti Maimunah
Fidia Ardana
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui defenisi zakat profesi, sajarah, dasar hukum dan perbedaan pendapat ulama mengenai zakat profesi. Penelitian ini adalah penelitian library research yang bersumber dari buku buku, hasil-hasil penelitian, dan jurnal-jurnal ilmiah. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa: (1) zakat profesia dalah harta yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan dari penjualan jasa yang halal bila telah mencapai nisab. (2) dasar hukum zakat profesi QS. al-Baqarah 267 (3) Zakat profesi merupakan sebuah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi (4) ulama yang mendukung zakat profesi adalah Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Yusuf Qardhawi, Prof. Didin Hafidhuddin, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan MUI (Majelis ulama Indonesia). Adapun ulama yang tidak setuju dengan zakat profesi adalah Dr. Wahbah Az Zuhaili, Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril ulama, dan juga Bahtsul Masail NU. (5) hikmah dan manfaan zakat profesi ialah perwujudan keimanan dan membantu mustahik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian yang terkait tentang zakat profesi.
Kata Kunci: zakat profesi
A. Pendahuluan
Zakat merupakan suatu tuntutan wajib bagi umat Islam karena merupakan rukun ke empat dari rukun Islam. Seiring perkembangan zaman, kemunculan masalah-masalah baru dalam kehidupan menuntut para mujtahid untuk menggali dasar hukumnya dengan berpedoman pada nash yang ada. Demikian pula halnya dengan permasalahan zakat yang meluas pada permasalahan hukum zakat profesi.
Zakat secara umum telah dikenal dalam Islam, namun belakangan ini muncullah istiah Zakat profesi. Zakat profesi merupakan zakat yang ditunaikan dari hasil profesi seperti pegawai, konsultan, dokter dan notaris dan profesi lainnya. Zakat profesi merupakan salah satu permasalahan baru dalam fiqh karena tidak ditemukan aturan hukum yang tegas Al-Quran dan al-Sunnah. Demikian pula halnya dalam kitab-kitab yang dinukil oleh imam-imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak ditemukan pembahas mengenai zakat profesi. Meskipun dasar hukum sebuah permasalahan tidak ditemukan secara tegas, tedapat metodologi yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan dasar hukum suatu permasalahan dengan menggali petunjuk nahs yang ada.
Metodologi penetapan hukum pada permasalahan zakat profesi oleh para ulama ditetapkan dengan cara perluasan makna lafaz dan dengan cara kias (analogi). Penetapan hukum suatu permasalahan yang digali dari dalil yang zhani tidak terlepas dari ragam penafsiran para mujtahid sehingga menimbuklan perbedaan pendapat baik dikalangan maupun dalam lembaga fatwa. Demikian pula halnya dengan penetapan hukum zakat profesi.
Perbedaan pendapat mengenai ketentuan zakat profesi pada dasarnya terlatak pada masa haul pada zakat profesi. Sebagian ulama atau pun lembaga fatwa tidak mensyaratkan haul dalam zakat profesi dan sebagian yang lainnya menetapkan kemestian haul dalam zakat profesi. Dibalik perbedaan pendapat ulama mengenai haul, menunaikan zakat profesi memiliki hikmah dan manfaat baik bagi muzakki maupun mustahik.
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, tulisan ini membahas tentang pengertian zakat profesi, sejarah zakat profesi, dasar hukum zakat profesi dan perbedaan pendapat para ulama tentang zakat profesi, hikmah dan manfaat zakat profesi.
B. Pengertian Zakat Profesi
Zakat profesi terdiri dari dua kata yaitu zakat dan profesi. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu “al-barakatu” keberkatan, “al-namaa” pertumbuhan dan perkembangan, “ath-thaharatu” kesucian, dan “ash-shalahu” kebaikan.[1] Dalam literatur fiqh klasik pengertian zakat adalah hak yang dikeluarkan dari harta atau badan.[2] Zakat juga diartikan sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat-syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap orang muslim untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Sementara itu pengertian profesi Dalam kamus bahasa Indonesia (KBBI) adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian (keterampilan, kejujuran, dansebagainya).[3]
Defenisi zakat profesi sebagaimana yang penulis kutip dari jurnal Muhammad Zen (Zakat Profesi), menurut Masjfuk Zuhdiialah zakat yang diperoleh dari semua jenis penghasilan yang halal yang diperoleh setiap individu muslim, apabila telah mencapai batas minimum terkena zakat (nisab). Menurut al-Qardhawi ialah harta pendapatan atau zakat yang dikenakan pada tiap-tiap pekerjaan atau keahlian professional tertentu baik yang dilakukan sendirian maupun dilakukan bersama dengan orang atau lembaga lain yang menghasilkan uang, gaji, honorarium, upah bulanan yang memenuhi nisab.[4]
Dari pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa zakat profesia dalah harta yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan dari penjualan jasa yang halal bila telah mencapai nisab.
C. Sejarah Zakat Profesi
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran danal-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yangtegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaanmasyarakat pada masa Nabi dan imam mujtahid. Sedangkan hukum Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa hukumyang terjadi ketika hukum itu ditetapkan.Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masalalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak mewajibkannya. Namun demikian,sekalipun hukum mengenai zakat profesi ini masih menjadi kontroversi dan belum begitu diketahui oleh masyarakat muslim pada umumnya dan kalangan profesional muslim ditanah air pada khususnya, kesadaran dan semangat untuk menyisihkan sebagian penghasilan sebagai zakat yang diyakininya sebagai kewajiban agama yang harus dikeluarkannya cukup tinggi.
Zakat profesi merupakan sebuah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah, Namun nampaknya Yusuf Qaradhawi dalam hal ini mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khallafdan Syeikh Abu Zahrah.
Kajian dan praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qaradhawi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejak saat itu zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, baik BASDAatau BASNAZ, maupun LAZ (lembaga amil zakat) milik swasta, seperti PKPU, Dompet Dhuafa, dan sebagainya.[5]
D. Dasar Hukum Zakat Profesi
Zakat profesi merupakan bentuk persoalan yang relatif baru dan tidak dikenal pada masa pensyariatan dan penetapan hukum Islam. Karena itu, tidak dijumpai ketentuan hukumnya secara jelas (tersurat) baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak diatur oleh nash secara jelas dapat diselesaikan dengan cara mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Quran dan sunnah itu sendiri. Pengembalian kepada dua sumber hukum itu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan perluasan makna lafaz dan dengan jalan qias (analogi).[6] Demikian pula halnya Penetapan hukum zakat profesi oleh para ulama.
Landasan hukum dikeluarkan zakat penghasilan melalui hasil usaha professional disandarkan pada firman Allah Swt.
وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (QS. Ad-Dzariatayat: 19)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dariapa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 267)
Sayyid Quthb menafsirkan kata “ما” adalah termasuk kata yang mengandung pengertian umum, yang artinya “apa saja” jadi “ shsh” artinya “sebagian dari hasil (apa saja) yang kamu usahakan yang baik dan halal. Demikian juga halnya dengan Masjfuk Zuhdi juga menjelaskan bahwa kata “ma “( ما ) adalah kata yang mengandung pengertian yang umum, yang artinya apa saja, jadi “ mimmaa kasabtum”( مَا كَسَبۡتُمۡ), artinya sebahagian dari hasil apa saja yang kamu usahakan yang baik-baik.[7]
Amir Syarifuddin, kata “مَاۡ” dalam ayat tersebut adalah mencakup segala apa-apaa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang dikeluarkan atau diusahakan dari bumi. Maka jelaslah bahwa semua macam penghasilan (gaji, honorium, daan lain-lainnya) terkena wajib zakat berdasarkan ketentuan ayat diatas yang mengandung pengertian yang umum, asal penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yang berupa sandang, pangan, papan, beserta alat rumah tangga, alat-alat kerja/usaha, kendaraan dan lain-lain yang tidak bisa diabaikan, bebas dari beban hutang, baik terhadap Allah seperti Haji yang belum ditunaikan maupun terhadap manusia, kemudian sisa penghasilannya masih mencapai nisab.[8]
E. Perbedaan pendapat Ulama
Zakat profesi sebagai permasalahan kontemporer, terdapat perbedaan pendapat baik dikalangan ulama maupun lembaga fatwa. Sebagian dari kalangan ulama atau pun lembaga fatwa ada yang mendukung dan ada pula yang menolak zakat profesi. Ulama dan lembaga fatwa yang mendukung zakat profesi adalah seperti Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Yusuf Qardhawi, Prof. Didin Hafidhuddin, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan MUI (Majelis ulama Indonesia). Adapun ulama dan lembaga fatwa yang tidak setuju dengan zakat profesi adalah Dr. Wahbah Az Zuhaili, Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril ulama dan juga Bahtsul Masail NU .
1. Ulama yang Mendukung Zakat Profesi
a. Yusuf al-Qardhawi
Yusuf Al-Qardhawi adalah salah satu icon yang mempopulerkan zakat profesi. Al-Qardhawi membahas masalah ini dalam bukunya Fiqh Zakat yang merupakan disertasinya di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المهن الحرة(zakat hasil pekerjaan dan profesi).[9]
Menurut Yusuf Qardhawi profesi merupakan bentuk penghasilan yang menyolok pada saat ini, penghasilan dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan segainya merupakan profesional yang wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab.[10] Hal ini berdasarkan firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu,….” (QS. Al-Baqarah (2): 267)
Bedasarkan ayat di atas, menurut Yusuf al-Qardhawi tidak perlu diragukan lagi penghasilan profesi merupakan bagian dari hasil usaha yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun pembayaran zakat profesi menurut Yusuf al-Qardhawi tidak terkait dengan haul. Dangan kata lain, pembayaran zakat profesi tidak mesti menunggu masa satu tahun. Setelah penghasilan diterima maka zakat profesi sudah bisa di bayarkan.[11] Adapun landasan zakat profesi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad [12] (harta perolehan).
Al-Qardhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal almustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qardhawi melemahkan[13] hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul”. (HR Abu Dawud).[14]
b. Abdul Wahhab Khallaf
Abdul Wahhab Khalaf dimasukkan kedalam kalangan pendukung zakat profesi dengan alasan dialah orang yang memberi inspirasi awal kepada Yusuf Al-Qardhawi tentang pemikiran dan ide dicetuskannya zakat profesi.
Zakat profesi menurut Abdul Wahhab Khalaf hukumnya wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab dan haul sebagaimana yang telah disampaikannya dalam kuliah tentang zakat:
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja dan profesi diambil zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah mencapai nishab.[15]
c. Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Abu Zahrah termasuk orang yang mendukung adanya zakat profesi. Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974) adalah guru dari Al- Qardhawi. Abu Zahrah adalah sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupa manusia.
Berbeda dengan pendapat Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Syeikh Abu Zahrah berpendapat bahwa zakat profesi di tunaikan apabila telah mencapai nisab dan haul.[16]
d. Didin Hafidhuddin
Senada dengan Syaikh al-Qardhawi, K.H Didin Hafidhuddin berpendapat bahwa semua penghasilan melalui kegiatan profesional. Apabila mencapai nishab, maka ia wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan keumumuan ayat:
وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariat: 19)
KH. Didin berpendapat bahwa zakat profesi bisa dianalogikan pada dua hal secara sekaligus, yaitu zakat pertanian dan pada zakat emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 Kg padi/gandum. Karena dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan harus satu tahun (haul). Ketentuan waktu membayar zakatnya adalah pada saat menerimanya, yaitu pada setiap bulan.[17]
Dari segi kadar zakat, dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5%. Penganalogian ini menurut beliau berdasarkan qiyas syabah.[18] Qiyas Syabah yang digunakan dalam menetapkan kadar dan nisab zakat profesi pada zakat pertanian dan zakad nuqud (emas dan perak) adalah qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode syabah.[19]
e. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3-6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5-8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Pada Lampiran 2 Keputusan Munas Tarjih XXV Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga disebutkan bahwa:
1) Zakat Profesi hukumnya wajib
2) Nishab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat
3) Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 %[20]
f. Majelis Ulama Indonesia
Berdasarkan pada Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003, tentang zakat penghasilan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa dal lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat nagara, pegawai atau kariawan maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya.
Hukum semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun yaitu senilai 85 gram emas. Adapun waktu pengeluaran zakat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab, (2) jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.[21]
2. Ulama yang Menolak Zakat Profesi
Disamping munculnya ulama yang menggagas serta mendukung zakat profesi, tidak sedikit pula ulama yang tidak setuju dengan zakat profesi. Pada dasarnya perbedaan pendapat tersebut mengenai haul dalam zakat profesi. Alasan utama penolakan bahwa zakat profesi _belum mencapai haul_ tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW.[22] Di samping itu menurut ulama yang menolak zakat profesi, menqiaskan zakat profesi dengan zakat pertanian _dikeluarkan ketika panen hasil_ juga merupakan analogi yang kurang pas. Karena hasil pertanian diperoleh setelah beberapa bulan, dengan demikian zakat tidak dikeluarkan setiap bulannya sebagaimana zakat profesi.
a. Wahbah Zuhaili
Wahbah Zuhaili merupakan salah satu tokoh ulama kontemporer dengan kayanya yang fenomenal yaitu kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Beliau termasuk ulama moderat kontemporer yang tidak menerima keberadaan zakat profesi. Dalam kitabnya beliau menukilkan:
Yang menjadi ketetapan dari empat mazhab bahwa tidak ada zakat untuk mal mustafad (zakat profesi), kecuali bila telah mencapai nishab dan haul.
Wahbah Zulaili tegas menyatakan bahwa zakat profesi ini tidak punya landasan yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Padahal zakat itu termasuk rukun Islam, dengan demikian landasannya harus qath’i dan tidak bisa hanya sekedar hasil pemikiran dan ijtihad pada waktu tertentu. Namun beliau memberikan kelonggaran bagi mereka yang mewajibkan zakat profesi. Sebagaimana dalam tulisannya:
Dan dimungkinkan adanya pendapat atas kewajiban zakat pada mal mustafad semata ketika menerimanya meski tidak sampai satu tahun, karena mengambil pendapat dari sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah.[23]
b. Abdul Aziz bin Baz
Syeikh Abdullah bin Baz mufti Kerajaan Saudi Arabia di masanya bisa dikategorikan sebagai ulama masa kini yang juga tidak sepakat dengan adanya zakat profesi ini. Berikut petikan fatwanya :
Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati. (Abdul Aziz bin Baz 14/134).[24]
c. Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia di masanya.
“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya”. (Majmu’ Fatawa wa ar-Rasa’il: 18/178).[25]
d. Hai’ah Kibaril Ulama
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:
“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).” (Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360)[26]
e. Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama
Di dalam negeri sebagian kalangan ulama dari Nahdhatul Ulama juga termasuk ke dalam barisan yang tidak sejalan dengan zakat profesi. Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di asrama haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 25-28 Juli 2002 bertepatan dengan 14- 17 Rabiul Akhir 1423 hijriyah telah menetapkan hukum-hukum terkait dengan zakat profesi. Berikut kutipannya :
Pada dasarnya semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar), baik dari hasil kerja profesional/ non-profesional, atau pun hasil industri jasa dalam segala bentuknya, yang telah memenuhi persyaratan zakat, antara lain : mencapai satu jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah, dikenakan kewajiban zakat.[27]
f. Muktamar Internasional
Keputusan Muktamar Internasional Pertama tentang zakat profesi di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M)[28] dapat disimpulkan bahwa Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya”. Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishab dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab. Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishab) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishab maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishab lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun“.[29]
F. Hikmah dan Manfaat Zakat
Hikmah dan manfaat zakat adalah, Pertama; sebagai perwujudan keimanan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, dan menghilangkan sifat kikir, dan materialistis sekaligus membersihkan harta yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 103, Allah berfirman:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣
“Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar, maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Kedua; karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong dan membantu fakir miskin. Ketidakmauan berzakat, di samping akan menimbulkan sifat hasud dan dengki dari orang-orang yang miskin dan menderita, juga akan mengundang azab Allah SWT.[30] Firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 37:
ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ٣٧
“(Yaitu) orang yang kikir, yang menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan” (QS. An-Nisa: 37)
G. Penutup
Zakat profesi adalah harta yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan dari penjualan jasa yang halal bila telah mencapai nisab. Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yangtegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi. Zakat profesi merupakan sebuah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah.
Dasar hukum zakat profesi ialah berdasarkan QS. al-Baqarah:267 dengan cara perluasan makna lafaz dan dengan jalan qias (analogi). Ulama dan lembaga fatwa yang mendukung zakat profesi adalah Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Yusuf Qardhawi, Prof. Didin Hafidhuddin, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan MUI (Majelis ulama Indonesia). Adapun ulama dan lembaga fatwa yang tidak setuju dengan zakat profesi adalah Dr. Wahbah Az Zuhaili, Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril ulama dan juga Bahtsul Masail NU. Perbedaan ulama tersebut muncul pada persoalan haul dalam zakat profesi
Hikmah dan manfaat zakat adalah sebagai perwujudan keimanan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, dan materialistis sekaligus membersihkan harta yang dimiliki dan zakat juga berfungsi untuk menolong dan membantu fakir miskin.
Referensi
Baidowi, Ikbal. “Zakat Profesi; Zakat Penghasilan”. Tazkiya; Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, Vol 19. No 1. Januari-Juni 2018.
Firdaweri. “Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi”. Ijtimaiyya; Jurnal Pengembangan Masyarakat. Vol 7. No 1. Februari 2014.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, Ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 06 Rabiul Akhir 1424 H / 07 Juni 2003 M
Hertina. “Zakat “Profesi dalam Perspektif Hukum Islam untuk PemberdayaanUmmat”. Hukum Islam. Vol13. No1. 2013.
Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah, Ditetapka di Pondok Gede Jakarta Timur pada Tanggal 3-6 Rabiul Akhir 1421 H / 5-8 Juli 2000
Marimin, Agus dan Tiara Nur Fitria. “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol 1. No 1. Maret 2015
Muhammad. 2002. Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer. Jakarta: Salemba Diniyah.
Rochaeti, Etty. “Analisis Mengenai Zakat Profesi Kaitannya dengan Pajak Penghasilan”. Jurnal Wawasan Hukum, Vol 24, No 01, November 2011
Sulaiman, Sofyan . “Legalistas Syar’i Zakat Profesi”. Jurnal Syari’ah. Vol V. No 1. April 2016.
Zen, Muhammad. “Zakat Profesi sebagai Distribusi Pendapatan Ekonomi Islam”. Human Fallah. Vol 1. No1. 2014.
[1]Firdaweri, “Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi”, (Ijtimaiyya; Jurnal Pengembangan Masyarakat, Vol. 7, No. 1, Februari 2014), 1.
[2]Ikbal Baidowi, “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan)”, (Tazkiya; Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, Vol. 19 No. 1, Januari-Juni 2018), 41.
[3]Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm.10.
[4]Muhammad Zen, “Zakat Profesi sebagai Distribusi Pendapatan Ekonomi Islam”, (Human Fallah, Vol.1 No.1, 2014), 67.
[5] Agus Marimin dan Tiara Nur Fitria, “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam”, (Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol 1, No. 1, Maret 20150, 52.
[6] Agus Marimin dan Tiara Nur Fitria, “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam”, 54.
[7]Firdaweri, “Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi”, 5.
[8]Hertina, “Zakat “Profesi dalam Perspektif Hukum Islam untuk PemberdayaanUmmat”, (Hukum Islam, Vol.13. No.1., 2013), 21.
[9] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, (Ziswaf; Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol. 2, No. 1, Juni 2015), 117.
[10] Sofyan Sulaiman, “Legalistas Syar’i Zakat Profesi”, (Jurnal Syari’ah, Vol. V, No. 1, April 2016) 7.
[11] Sofyan Sulaiman, “Legalistas Syar’i Zakat Profesi”, 8.
[12] Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.
[13] Qardhawi menganggap lemah (dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin Hazim yang dianggap periwayat yang lemah.
[14] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 117.
[15] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 118
[16] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 119.
[17] Firdaweri, “Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi”, 9.
[18] Yang dimaksud qiyas syabah adalah mempersamakan furu‟ atau cabang atau yang diqiyaskan ( zakat profesi ) dengan asal atau pokok masalah atau tempat bersandarnya qiyas ( zakat pertanian dan zakat emas dan perak ) karena ada yang menyerupainya.
[19] Firdaweri, “Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi”, 10.
[20] Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah, Ditetapka di Pondok Gede Jakarta Timur pada Tanggal 3-6 Rabiul Akhir 1421 H / 5-8 Juli 2000.
[21] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, Ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 06 Rabiul Akhir 1424 H / 07 Juni 2003 M.
[22] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 122.
[23] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 126.
[24] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 127.
[25] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 127.
[26] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 128.
[27] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”, 128.
[28]Etty Rochaeti, “Analisis Mengenai Zakat Profesi Kaitannya dengan Pajak Penghasilan”, (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 24 No. 01 November 2011), 323.
[29] Fuad Riyadi, “Kontroversi Zakat Profesi Pesrpektif Ulama Kontemporer”,130.
[30]Etty Rochaeti, “analisis mengenai zakat profesi Kaitannya Dengan Pajak Penghasilan”, 322.
Komentar
Posting Komentar