Rujuk dan Permasalahannya dalam Kitab Fathul Qarib
Rujuk dan Permasalahannya dalam Kitab Fathul Qarib
Meta Ratna Sari
metaratnasari06 @gmail.com
Wulan A. Br. Tarigan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstrak: Penelitian bertujuan untuk mengetahui rujuk dan permasalahannya. Untuk mengetahui rujuk dan permasalahannya ,Penelitian ini menggunakan studi dokumen berupa kitab Fathul Qarib karangan Syaikh Ibnu Qasym al-Ghazzi sebagai referensi utama dan referensi tekait seperti jurnal dan skripsi sebagai sumber pendukung. Hasil penelitian ini membahas bahwa rujuk dalam perspektif Ibn Qasim al-Ghazzi adalah mengembalikan isteri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan iddah talak selain talak bain dengan cara tertentu. Adapun lafaz rujuk terbagi dua yaitu lafaz sharih dan kinayah. Sedangkan rujuk dianggap tidak sah apabila murtaji’ dalam keadaan ihran, anak kecil, murtad atau gila. adapun rujuk orang yang mabuk, safih dan budak hukumnya sah. Penelitian ini menggunakan metode content Analysis, yaitu dengan membandingkan dan mencari referensi yang mendukum isi dari kitab fathu qarib dengan sumber-sumber terkait sebagai tambahan,
Kata kunci: Rujuk, Fathu Qarib.
A. Pendahuluan
Istilah hukum Islam, para fuqoha’ mengenal kata “ruju” dan kata “raj’ah” mankanya sama. Definisi dalam pengertian Fiqh menurut al-Mahalli adalah: kembali ke dalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.
Rujuk yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia tepakai yang artinya menurut kamus besar bahsa Indonesia (KBBI) adalah: kembalinya suami kepada istrinya yang ditolak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih pada masa iddah. Dari definisi di atas telihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari dari perbuatan hukum rujuk tersebut, yaitu:
1. Ungkapan “kembalinya suami kepada istri”, mengandung arti bahwa antara keduanya sebeluumnya telah terikat tali pernikahan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian.
2. Ungkapan “yang telah ditalak dalam bentk raj’i”, menandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belm putus bain.
3. Ungkapan “masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya tejadi selama istri masih dalam masa iddah. Bila waktu iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan rujuk. Untuk maksud tersebut suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad yang baru.[1]
Penelitian tentang rujuk dan permasalahannya ini sebelumnya telah dilakukan oleh Munawwar Khalil dengan judul Relevansi Konsep Rujuk antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Empat Madzhab. Penelitian ini menganalisis relevansi rujuk antara KHI dengan pendapat empat imam mazhab. Lebih lanjut penelitian tentang rujuk dengan berbagai permasalahannya juga telah dilakukan oleh Purwanto dalam skripsinya yang berjudul Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi’i tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 tentang Kewenangan Istri untuk Menolak Rujuk Suami. Penelitian ini membahas wewenang isteri dalam menerima rujuk suami menurut pendapat imam Syafi’I dan KHI pasa 164. Penelitian yang membahas permasalahan rujuk juga telah dilakukan oleh Ahmad Hakim dengan judul Analisis Pendapat Imam Syamsudin as-Syarkhasi tentang Pernikahan orang yang sedang Ihram. Penelitian ini menguraikan perbedaan pendapat antara imam Syamsudin as-Syarkasi dengan ulama lainnya dalam menetapkan hukum pernikahan pada masa ihram.
Adapun analisa pembahasan mengenai rujuk dan permasalahannya yang dianalisis dari kitab fathu qarib belum ditemukan. Dengan demikian menarik untuk dianalisis, dalam tulisan ini penulis memaparkan mulai biografi Imam Ibnu Qasim al-Ghazzi, selayang pandang tentang kitab Fathu Qarib hingga rujuk dan permasalahannya dalam kitab fathu qarib.
B. Biografi Imam Ibnu Qasim al-Ghazzi
Imam Ibnu Qasim al-Ghazzi lahir pada tahun 859 H. di kota Ghuzah yang menjadi bagian dari wilayah Syam. Nama lengkap beliau adalah aAssyaikh al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al Ghazzi. Beliau mengembara menuntut ilmu di Kairo Mesir tepatnya di Jami’ah al Azhar. Kemudian mengembangkan ilmu dan mengajar di sana dan menyumbangkan karya-karya yang salah satunya adalah Fathul Qarib. Beliau wafat pada tahun 918 H di Kairo.[2] Beliau menghafal Al-Qur’an, Asy-Syathibiyyah, Al-Minhaj dan kitab Al-Fiyatul Hadits dan Al-Fiyah an Nahwu serta sebagian besar kitab Jam’ul Jawami.
Guru-guru beliau diantaranya adalah:
1. Syamsuddin Abul Wafa’ Muhammad bin Khadr Al-Ghazzi Asy-syafi’iy, yang dikenal dengan Ibnul Himshi (812-881 H). Beliau tinggal di Ghazza dan mengajarkan ilmu Fiqih dan bahasa Arab kepada Ibnu Qasim al-Ghazzi.
2. Syaikh Islam Muhammad bin Muhammad As-Sayyid Al-Maqdisi, tekenal dengan nama Kamaludin Ibn Abi Syarif (882-906 H). Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazzi belajar ilmu Fiqih, Ushul Fiqih dan Ushuluddin (Aqidah) dari Ibn Abi Syarif.
3. Syaikh Ahmad bin ‘Ali bin Hushain bin hasan bin ‘Ali bin ‘Abdil Wahb Asy-Syihab Al-‘Abbadi (807-880 H). Beliau mengajarakn ilmu Fiqih kepada Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazzi.
4. Syamsuddin Al-Jujri, beliau mengajarakan ilmu Ushul Fiqih dan ilmu Arudh (ilmu bahasa Arab).
5. Alauddin Al-Hashani, Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazzi belajar kepada gurunya ini Syarhul ‘Aqaid dan hasyahnya serta Syarh At-Tashrif dan Syarhul Qutub fil Mantiq (ilmu Mantiq).
6. Badruddin Al-Mardani, Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazzi belajar tentang ilmu Faraidh dan ilmu hitung serta aljabar dan ilmu-ilmu umum lainnya.
7. Zainuddin Zakariyya, beliau belajar dari gurunya ini kita Al-Qiyyas dai Syarhul Jam’ul Jawami’ Lil Mahalli dan qira’at Sab’ah (qira’at Qur’aniyah yang 7 bacaan).
8. Jamaluddin Al-Kurani, beliau mengajarkan Syarh Asykal At-Ta’sis.[3]
Karya-karya beliau yang paling tekenal adalah kitab Fathul Qarib Al-Mujib Fii Syarhi Alfadzit Tarqib, yang disebut juga dengan Al-Qaulul Mukhtar Fi Syarhi Ghayatil Ikhtisar. Dan dikenal dengan Syarh Ibn Qasim ‘Ala Matni Abi Syuja’. Buku ini diterima oleh masyarakat dan mendapatkan qabul dari kalangan kaum muslimin sehingga menyebar dengan sangat cepat, sangat luas dan dijadikan kurikulum, rujukan serta bahan ajar untuk para pelajar yang ada di Jami’ Al-Izhar dan juga diajarkan oleh para ulama Syafi’iyyah.
Hasyiyat ‘ala Syarhit Tashrif, Hasyiyat yag ditulis beliau untuk mensyarah Al-‘Aqaid (Hasyiyat ‘Ala Syarhil ‘Aqaid). Dan disebutkan bahwa Ibnu Qasim al-Ghazzi menjadikan buku ini sebagai pegangan dalam pengajaran tehadap murid-muridnya untuk materi Aqidah atau Tauhid.[4]
C. Selayang Pandang tentang Kitab Fathul Qarib
Kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Afazh al-Taqrib, karya Ibnu Qasim al-Ghazy. Kitab ini kemudian dibuat hasyahnya oleh Ibrahim al-Bajury.[5]Kitab Fathul Qarib ditulis sebagai penjelasan isi sebuah kitab yang berjudul Taqribkarangan Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfihani[6] (w. 593). Kitab Fathul Qarib ini ditulis dengan tujuan agar dapat berguna bagi orang yang mempelajari cabang dari syariat Islam dan ingin mendapatkan wasilah.
Kitab ini merupakan kitab yang berisi hukum-hukum Islam mencakup ibadah, muamalat, munakahat, jinayah dan lain-lain. Dibandingkan dengan kitab yang lain, seperti kitab Fathul Muin, Salumat Taufik dan yang lainnya, kitab ini lebih ringkas dalam pembahasan serta tidak bertele-tele dalam mengelompokkan suatu pembahasan sehingga mudah dimengerti. Adapun kekurangan dari kitab ini adalah penjelasannya kurang konkret.[7]
D. Rujuk dan Pemasalahannya dalam Kitab Fathul Qarib
Pembahasan rujuk dalam kitab fathuh qarib dibagi menjadi beberapa pokok bahasan yang mencakup tentang pengertian rujuk, cara rujuk dan syarat orang yang rujuk.
1. Pengertiang rujuk
Imam ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib pada fashlu fi ahkami ar raj’ati menukilkan bahwa lafaz “ar-raj’ah” dengan membaca fathah huruf ra’-nya, ada pula keterangan bahwa ra’-nya dibaca kasrah, secara bahasa berarti kembali satu kali.[8] Dalam bahasa arab kata rujuk berasal dari kata raja’a- yarji’u- rij’an yang berarti kembali dan mengembalikan.[9]
Rujuk secara syara’, Imam Ibnu Qasim al-Ghazi mendefenisikan bahwa rujuk adalah mengembalikan isteri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan iddah talak selain talak bain dengan cara tertentu.[10] Defenisi ini pula yang digunakan oleh ulama dalam mazhab Syafi’iyah. Defenisi rujuk yang diberikan oleh para ulama pada dasarnya sepakat, walaupun dengan menggunakan redaksi yang berbeda.
Ulama Hanafiyah mendefenisiskan rujuk adalah tanggungan milik yang terjadi pada masa iddah sebab kembalinya isteri pada suaminya dan kembalinya isteri pada tinggkah perbuatan yang pertama. Adapun ulama malikiyyah mendefenisikan rujuk adalah kembalinya isteri yang ditalak tanpa mumperbaharui akad. Sedangkan rujuk menurut ulama mazhab hambali adalah kembalinya wanita yang ditalak dari ghairu bain terhadap sesuatu selai akad.[11] Dalam KBBI, defenisi rujuk dadalah kembalinya suami kepada isterinya yang ditalak, talak satu atau talak dua ketika isteri dalam masa iddah.[12]
Defenisi rujuk sebagaimana yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa rujuk adalah kembalinya isteri setelah talak satu atau talak dua ketika masih berada pada masa iddah tanpa akad nikah yang baru.
2. Lafaz rujuk
Lafaz rujuk dalam kitab Fathul Qarib dibedakan menjadi dua macam, yaitu lafaz sharih dan lafaz kinayah. Imam Ibnu Qasim al-Ghazzi menukilkan dalam kitabnya Fathul Qarib bahwa rujuk yang dilakukan oleh orang yang bisa berbicara bisa dengan menggunakan kata-kata diantaranya adalah “رَاجَعْتُكِ” (aku merujukmu) dan lafaz-lafaz yang ditasrifkan dari lafaz “رَجْعَة”.[13] Adapun rujuk oleh orang yang bisu tidak dijelaskan oleh Imam Ibnu Qasim al-Gazzi dalam kitab tersebut.
Imam Ibnu Qasim al-Ghazzi menyebutkan rujuk menurut pendapat al ashah sesungguhnya al murtaji’ (suami yang ruju’) mengucapkan “رَدَدْتُكِ لِنِكَاحِيْ” (aku mengembalikanmu pada nikahku) dan “اَمْسَكْتُكِ عَلَيْهِ” (aku menahanmu pada nikahku). Lafaz tersebut adalah dua bentuk kalimat rujuk yang sharih.
Sesungguhnya ucapan murtaji’_menurut al ashlah_ ucapan “تَزَوَّجْتُكِ” (aku menikahimu) “نَكَحْتُكِ” (aku menikahimu) merupakan dua bentuk kalimat rujuk yang kinayah.
3. Syarat orang yang rujuk
Syarat-syarat orang yang rujuk dalam kitab fathu qarib adalah sebagai pertama, Murtaji’ jika ia tidak dalam keadaan ihram. Jumhur ulama seperti Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad berpendat bahwa melangsungkan akad perkawinan ketika dalam keadaan ihram hukumnya adalah haram. Sedangkan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ikatan pernikahan yang dilaksanakan ketika sedang ihram dianggap sah.[14] Pendapat yang mengharamkan pelaksanaan ikatan pernikahan ketika ihram berdasarkan hadits Nabi Saw.
عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَ طَلْحَةَ بْنَ عُمَرَ بِنْتَ شَيْبَةَ بْنِ جُبَيْرٍ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يَحْضُرُ ذَلِكَ وَهُوَ أَمِيرُ الْحَجِّ فَقَالَ أَبَانُ سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
Dari Nubaih bin Wahab, bahwa Umar bin Ubaidillah ingin menikahkan Thalhah bin Umar dengan putri Syaibah bin Jubair, lalu Umar bin Ubaidillah mengutus seseorang kepada Aban bin Utsman agar dia menghadiri pernikahan tersebut —pada saat itu dia adalah Amirul Haji—Aban berkata, "Aku mendengar Utsman bin Affan RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh meminang.” (HR. Muslim)
Adapun dalil ulama yang membolehkan melangsungkan ikatan perkawinan berdasarkan hadits Nabi Saw.
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ الْحَجَّاجِ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughirah 'Abdul Quddus bin Al Hajjaj telah menceritakan kepada kami Al Awza'iy telah menceritakan kepada saya 'Atho' bin Abu Rabah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahi Maimunah saat Beliau sedang ihram.” (HR. Bukhari)
Menyikapi dua hadits shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah menikahi Sayyidah Mainunah pada waktu ihram, jumhur ulama menolak hasits tersebut karena bertentangan dengan hadits-hadits yang lain diantaranya:
عن ميمونة نفسها (ان النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال)
Dari Maimunah “Nabi Saw. manikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.” (HR. Muslim)
Kedua, Rujuknya orang yang mabuk hukumnya sah. Imam ibnu Qasim al Ghazzi berpemdapat bahwa rujuk orang yang sedang mabuk hukumnya sah. Ketiga,Tidak sah rujuknya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Ibnu Qasim al-Ghazzi mengatakan bahwa rujuknya orang murtad, anak kecil dan orang gila tidak sah karena sesungguhnya masing-masing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri. Keempat, Rujuk orang safih dan budak, rujuk orang sang safih dan budak hukumnya sah meskipun tanpa izin dari wali dan majikan.
E. Kesimpulan
Rujuk dalam kitab fathul qarib sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa, rujuk secara etimologi berarti berarti kembali satu kali. Adapun secara terminologi, Imam ibnu Qasim al-Qazzi mendefenisikan rujuk adalah mengembalikan isteri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan iddah talak selain talak bain dengan cara tertentu.
Lafaz rujuk terbagi kedalam dua macam yaitu, lafaz yang sharih dan lafaz kinayah. Adapun syarat-syarat al murtaji’ muraji’ yaitu, pertama: tidak dalam keadaan ihram, dua: rujuknya orang yang mabuk hukumnya sah, tiga: Tidak sah rujuknya orang murtad, anak kecil dan orang gila. empat: Berbeda, rujuk yang dilakukan oleh orang yang safih dan budak adalah sah meskipun tanpa izin dari wali dan majikan.
Referensi
Ghazzi, Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad. Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar. (Dar ibn Hazm: Beirut-Libanon. 2005.
Hakim, Ahmad. Analisis Pendapat Imam Syamsudin as-Syarkhasi tentang Pernikahan orang yang sedang Ihram. “Skripsi” : Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. 2016.
Khalil, Munawwar. Releansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam Dan Pandangan Imam Empat Mazhab. (“Skripsi” Uniersitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). 2011.
Rahayu, Noitasari.Analisis Diksi pada BAB Nikah Buku Terjemahan Kitab Fat al-Qarib. “Skripsi”: Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Purwanto.Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi’i tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 tentang Kewenangan Istri untuk Menolak Rujuk Suami. “Skripsi”: Jurusan Al Ahwal Al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 2008.
http://kajianfiqihfathulqarib.blogspot.com/2015/10/biografi-imam-ibnu-qasim-al-ghazzi.html?m=1
https://kbbi.kemdikbud.go.id
http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/09/resensi-kitab-matan-al-taqrib.html?m=1
[1]Munawwar Khalil, Relevansi Konsep Rujuk antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Empat Madzhab, (“Skripsi” : Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011),16.
[2]Novitasari Rahayu, Analisis Diksi pada BAB Nikah Buku Terjemahan Kitab Fat al-Qarib, (“Skripsi”: Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 35.
[3]http://kajianfiqihfathulqarib.blogspot.com/2015/10/biografi-imam-ibnu-qasim-al-ghazzi.html?m=1
[4]http://kajianfiqihfathulqarib.blogspot.com/2015/10/biografi-imam-ibnu-qasim-al-ghazzi-bag-2.html?m=1
[5]http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/09/resensi-kitab-matan-al-taqrib.html?m=1
[6]Dinisbatkan kepada negeri Asfihan, sebuah negeri ‘ajam yang merupakan negerinya atau kakeknya. Beliau yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Syuja’ ini merupakan seorang ulama yang sangat saleh dan berumur panjang , seratus enam puluh tahun. Beliau lahir pada tahun 433 H dan pernah mendalami mazhab Syai’i di Basrah lebih dari 40 tahun dan meninggal dunia di Madinah.
[7]Novitasari Rahayu, Analisis Diksi pada BAB Nikah Buku Terjemahan Kitab Fat al-Qarib, Op. Cit, 33
[8] Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad Ghazzi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar, (Dar ibn Hazm: Beirut-Libanon,2005), 245.
[9] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep Rujuk antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Empat Madzhab, (“Skripsi” : Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011), 16.
[10] Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad Ghazzi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar, Loc.Cit.
[11] Purwanto, Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi’i tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 tentang Kewenangan Istri untuk Menolak Rujuk Suami, (“Skripsi”: Jurusan Al Ahwal Al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2008), 15.
[12] https://kbbi.kemdikbud.go.id
[13] Abi Abdillah Syamsiddin Qasim ibn Muhammad Ghazzi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi al-Fazh al-Taqrib au al-Qawl al-Mukhtar fi Syarh Ghayati al-Ikhtisar, Loc.Cit.
[14] Ahmad Hakim, Analisis Pendapat Imam Syamsudin as-Syarkhasi tentang Pernikahan orang yang sedang Ihram, (“Skripsi” : Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016), 9.
Komentar
Posting Komentar