Diskursus Legislasi Jinayah dan Hudud di Indonesia
Diskursus Legislasi Jinayah dan Hudud di Indonesia
Meta Ratna Sari
metaratnasari06@gmail.com
Sri Wahyuni
Sri.wahyuni56@students.uin-suska.ac.id
Wulan A. Br. Tarigan
Fikih B, UIN SUSKA RIAU
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana diskursus (wacana) legislasi jinayah dan hudud (hukum Islam) di Indonesia, mengetahui bagaimana kilas sejarah perkembangan hukum Islam serta memahami apa yang dimaksud dengan istilah jinayah dan hudud dan apasaja yang menjadi pokok bahasannya. Metode yang kami gunakan adalah metode kualitatif karena kami ingin memahami makna dibalik data yang tampak. Gejala sosial sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang diucapkan dan dilakukan orang. Setiap ucapan dan tindakan orang sering mempunyai makna tertentu, dan juga ingin mengembangkan teori melalui data yang diperoleh dari lapangan. Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah jinayah dan hudud (hukum Islam) tersebut berlaku sejak diutusnya Rasulullah Saw hingga masuk ke Indonesia. Diskursus legislasi jinayah dan hudud di Indonesia sebagai hukum nasional menjadi wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran ke arah tersebut menuai tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Kata kunci: diskursus, wacana, jinayah, hudud, KUHP.
A. Pendahuluan
Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah padam. Hal ini tampak dari sejarah pergulatan politik nasional. Memang syariat Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat mulai diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan syariat Islam sebagai cita-cita. Bahkan setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti.
Wacana tentang legislasi syariat Islam dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan topik kontekstual bagi dunia politik Indonesia. Diskursus legislasi syariat Islam yang cukup gencar tersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontra merupakan hal memang wajar muncul di kalangan mereka, namun sampai sekarang mayoritas para ahli hukum pidana Islam tampaknya masih cenderung kepada pandangan bahwa dalam bentuk-bentuk hukuman yang sudah diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi maka tidak mungkin dicarikan justifikasi untuk merubahnya.
Al-Quran telah mengeluarkan norma-norma untuk menata hubungan sosial manusia. Dan norma hukum tersebut hanya akan tegak kalau manusia memiliki kesadaran teologis dan kesadaran sosial yang baik. Salah satu aspek dari norma hukum yang di atur Allah lewat Al-Quran adalah masalah jinayah dan hudud. jinayah (jarimah) Menurut hukum pidana Islam, adalah larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah Swt. yang pelanggarannya membawa hukuman yang telah ditentukan-Nya. Sedangkan Tindak pidana hudud ialah tindak pidana yang diancamkan pidana had, yaitu pidana yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt. Pidana tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, karena sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kajian tentang jinayah dan hudud dalam Al-Quran masih sangat signifikan dipandang teristimewa dalam mengatur persoalan tindak pidana kriminal.
Pembahasan terhadap masalah yang sama dalam ilmu hukum, dinamai Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, strafrecht. Buku atau kitab yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau kejahatan dan hukuman yang diancam kepada pelaku perbuatan tersebut dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht.
Peranan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat sangat penting karena merupakan unsur yang sangat esensial dalam membangun Hukum Nasional. Pengqanunnan di bidang hukum jinayah atau hukum pidana Islam adalah yang paling sulit dilakukan. Para intelektual muslim hingga saat ini masih terus berusaha keras membawa masuk islam kedalam dialognya yang konstruktif bagi pengembangan bangsa dan Negara. Era reformasi yang mengedepankan demokratisi disegala bidang telah berusaha dimanfaatkan oleh para intelektual muslim. Sehingga pada era refornasi telah bermunculan peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun materil bermuatan hukum Islam.
B. Pembahasan
1. Kilas Sejarah Hukum Islam di Indonesia
Hukum Pidana Islam atau fikih jinayat merupakan bagian dari Syari’at Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah Saw. Hukum Pidana Islam pada masa Rasul dan khulafaurrashidin berlaku sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri, yang pada masa itu dirangkap oleh Rasulullah sendiri dan kemudian diganti oleh khulafaur-Rashidin.[1]
Hukum Islam masuk ke nusantara bersama-sama dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pelembagaan hukum Islam pertama-tama dilakukan oleh para kaum muslim. Kemudian peningkatan efektifitas penamannya dilakukan oleh para ulama. Kemudian efektifitasnya dikukuhkan oleh berdirinya kerajaan dan kesultanan Islam. Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai suatu sistem hukum telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat istiadat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara. Hukum Islam dapat tumbuh serta berkembang di samping hukum Adat, sebab adat merupakan salah satu sumber hukum Islam.[2]
Perkembangan politik hukum pemerintah penjajah pada sekitar abad ke-19 Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda hendak manata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[3] Eliminasi terhadap hukum pidana Islam dilaksanakan secara perlahanlahan, namun sangat sistematis. Pemerintah kolonial Belanda membuat suatu Undang-undang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan di daerah jajahannya.[4]
Tahun 1918, Pemerintah Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voo Nederlands Indie (WvS-NI) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda (KUHP-HB) di Hindia Belanda Setelah Indonesia merdeka KUHP-HB tetap diberlakukan untuk mengisi kekosongan. Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berlaku untuk Wilayah Jawa dan Madura saja. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia hingga sekarang.[5]
2. Pemahaman Dasar tentang Jinayah dan Hudud
a. Jinayah
Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk singular bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkara sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah , yang artinya dia (wanita) yang telah berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban. Dr.Abdul Kadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamy yang dirujuk oleh Rahmat Hakim menjelaskan bahwa arti kata jinayah adalah sebagai berikut:
“Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda”.
Dengan demikian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh Syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda[6].
Menurut aliran (mazhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayah ini. Kata jinayah hanya diperuntukkan bagi semua perbuatan yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, seperti melukai atau membunuh. Adapun perbuatan dosa atau perbuatan salah yang berkaitan dengan objek atau sasaran barang atau harta benda, dinamakan ghasab. Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari pembahasan jinayah, yang hanya membahas kejahatan atau pelanggaran terhadap jiwa atau anggota badan. Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi kejahatan terhadap jiwa dan anggota badan, sedangkan masalah yang terkait dengan kejahatan terhadap benda diatur pada bab tersendiri. Adapun aliran atau mazhab lain, seperti aliran Asy-Syafi’i, Maliki, dan Ibnu Hambal, tidak mengadakan pemisahan antara perbuatan jahat terhadap jiwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda (pencurian dan kejahatan terhadap harta benda lainnya). Oleh karena itu, pembahasan keduanya (kejahatan terhadap anggota badan, jiwa dan harta benda) diperoleh dalam jinayah.
Jinayah jika dipahami tanpa berusaha memihak aliran yang berbeda tadi, maka kata jinayah berarti perbuatan jahat, salah, atau pelanggaran sudah inklusif (mencakup) segala bentuk kejahatan, baik terhadap jiwa ataupun anggota badan. Oleh karena itu, kejahatan terhadap harta benda secara otomatis termasuk dalam pembahasan jinayah, tanpa perlu diadakan pemisahan dalam pembahasan di antara keduanya.
Pengertian jinayah pada awalnya diartikan hanya bagi semua jenis perbuatan yang dilarang saja. Jadi, melalaikan perbuatan yang diperintahkan dalam konteks pengertian tersebut bukanlah jinayah. Padahal suatu perbuatan dosa, perbuatan salah, dan sejenisnya dapat berupa perbuatan ataupun berupa meninggalkan perbuatan yang diperintahkan melakukannya. Hal ini karena pelanggaran terhadap peraturan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang (bersifat aktif) atau meninggalkan perbuatan yang berdasarkan hukum harus dikerjakan (bersifat pasif)[7].
Perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi, unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara satu jarimah dengan jarimah yang lain. Unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsure ini biasa disebut unsur formil.
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarīmah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini disebut unsur materil.
3. Pembuat adalah mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarīmah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut unsur moril.
Ketiga unsur tersebut adalah satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada maka seseorang yang melakukan tindak pidana tidak bisa diberikan atau dijatuhi sanksi hukum.[8]
b. Hudud
Kata “Hudud” adalah bentuk jamak bahasa Arab “Hadd” yang berarti pencegahan, penekanan atau larangan. Oleh karenanya ia merupakan suatu peraturan yang membatasi undang-undang Allah berkenaan dengan hal-hal halal dan haram.
Terminologis, kata Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan dan diwajibkan untuk melaksanakannya secara haq karena Allah SWT. Sementara itu, sebagian ahli fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah yang dirujuk oleh Nurul Irfan dan Masyrofah, berpendapat bahwa had adalah sanksi yang telah ditentukan secara syara’[9].
Hudud secara umum diartikan sebagai aturan-aturan hukum yang ketentuan jenis, berat dan ringannya telah ditetapkan oleh nash. Namun, bila dicermati lebih mendalam maka hudud dalam Al-Quran tidak hanya berbicara tindak pidana kriminal saja, tetapi pelanggaran terhadap pelaksanaan solat, puasa, perkawinan (thalaq, iddah), dan lain-lain dapat di kategorikan sebagai hudud. Dengan kata lain, yang termasuk hudud dalam Al-Quran tidak hanya terbatas pada persoalan pidana, tetapi termasuk dalam persoalan lain seperti ibadah, perkawinan dan atau kewarisan.
Hudud menurut fuqaha adalah sanksi yang telah ditentukan dan wajib dilaksanakan secara benar karena Allah SWT. Sanksi hukum ini disebut dengan had karena dapat mencegah pelaku dari perbuatan dosanya yang telah rutin. Batas yang dapat membedakan benda-benda tidak bergerak dari benda-benda lain yang juga tidak bergerak seperti dinding dan tanah-tanah. Sementara itu, had secara syara’ berfungsi untuk menghalang-halangi seorang pelaku tindak pidana agar tidak kembali melakukan perbuatan yang telah dilakukannya.[10]
Al-had (hudud) dalam pengertian umum adalah pemisah antara dua sesuatu yang menyebabkan keduanya tidak saling bercampur aduk[11]. Sampai di sini dipahami bahwa semua ketentuan agama baik itu masalah pidana atau bukan dalam bentuk larangan atau perintah untuk ditinggalkan dan telah ditetapkan batasan hukumannya oleh Allah SWT adalah termasuk had (hudud). Lebih lanjut dijelaskan oleh Al-Ashfani yang dikutip oleh Darsul, menyatakan bahwa semua hudud Allah itu meliputi empat kategori, yaitu:
1) Aturan yang ketentuannya tidak boleh ditambah atau dikurangi seperti jumlah rakaat dalam shalat wajib
2) Aturan yang boleh ditambah ketentuannya dan tidak boleh dikurangi, misalnya kadar zakat
3) Aturan yang yang boleh dikurangi tetapi tidak boleh ditambah, misalnya masalah poligami tidak boleh lebih dari empat istri
4) Aturan yang ketentuannya boleh ditambah atau boleh dikurangi, misalnya jumlah rakaat shalat sunnah dhuha.
Dari berbagai penggunaan lafadz hudud, redaksinya selalu dikaitkan dengan lafal Allah (Hudud Allah). Maksudnya bahwa Allah (termasuk Nabi Muhammad SAW) sajalah yang berhak membuat hudud itu. Oleh karena itu, hudud dalam pandangan ulama fikih merupakan hak Allah, sebagaimana Sayyid Sabiq mendefinisikan hudud berarti “pemberian hukuman dalam rangka hak Allah”. Allah sebagai Syar’i yang berhak menetapkan hudud yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, walaupun untuk kepentingan manusia, namun tidak ada hak bagi manusia untuk membuat apalagi merubah ketentuan yang telah diatur Allah dengan alasan aktualisasi karena hukum Allah itu sendiri telah aktual, baik itu soal ibadah, puasa, thalaq, cerai, kewarisan, atau masalah lainnya[12].
Ayat-ayat yang memuat lafal hudud dan hakikat makna yang dikandungnya dalam Al-Quran dapat diklasifikasikan sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini:
No |
Nama Surah/Ayat |
Frekuensinya |
Bentuk Lafalnya |
Hakikat Maknanya |
1
2
3
4
5
6 7 8
9 |
QS. Al-Baqarah: 187 QS. Al-Baqarah: 229 QS. Al-Baqarah: 230 QS. Al-Nisa’: 13
QS. Al-Nisa’: 14
QS. Al-Taubah QS. Al-Taubah QS. Al-Mujadalah: 4 QS. Al-Thalaq: 1 |
1 kali
4 kali
2 kali
1 kali
1 kali
1 kali 1 kali 1 kali
2 kali |
حدودالله
حدودالله
حدودالله
حدودالله
حدوده
حدودماانزل الله حدودالله حدودالله
حدودالله
|
Larangan-larangan Hukum-hukum
Hukum-hukum
Ketentuan-ketentuan Ketentuan-ketentuan Hukum-hukum Hukum-hukum Hukum-hukum
Hukum-Hukum |
|
J u m l a h |
14 kali |
|
|
Hukuman Hadd hanya diberikan bila pelanggaran atas hak-hak masyarakat. Hudud Allah ini terbagi pada dua kategori. Pertama peraturan yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan, perceraian, dan lain-lain yang diperbolehkan dan yang dilarang. Kedua hukuman-hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang terlarang untuk dikerjakan.
kata “Hudud” dalam hukum Islam dibatasi untuk hukuman karena tindak pidana yang disebutkan oleh Al-Quranulkarim atau Sunnah Nabi SAW. Sedangkan kata umum untuk hukuman adalah “Uqubah” berasal dari “Aqb” yang berarti “suatu hal yang datang setelah yang lainnya”, karena hukuman dikenakan setelah pelanggaran atas batas-batas ditetapkan oleh hukum Ilahi.
Tindak pidana hudud dapat dipahami sebagai pidana yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt. Pidana tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, karena sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Maksud hak Allah Swt. adalah bahwa pidana tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (korban) ataupun oleh masyarakat yang diwakili negara. Sanksi pidana yang termasuk hak Allah Swt. ialah setiap sanksi yang dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk memelihara ketentraman dan keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan pidana tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat. Tindak pidana hudud ada tujuh, yaitu al-zina (zina) al-qazaf (menuduh orang lain berbuat zina), al-syurb (minum-minuman keras), alsariqah (mencuri), al-hirabah (merampok, mengganggu keamanan), al-riddah (murtad), dan al-baghyu (pemberontakan[13]).
Jenis-jenis hudud yang diakui keabsahannya secara tegas disebutkan dalam al-Quran dan hadits adalah lima jenis yaitu zina, qadhf[14], pencurian[15], pembangkang (al-Baghi)[16] dan hirabah. Sedangkan jarimat al-khamr[17] dan riddah[18] yang menurut fuqaha termasuk dalam kategori hudud yang digolongkan kedalam jarimat al-ta'zir atau apa yang disebutnya sebagai hukum peralihan.[19]
Hukuman bagi tindak kejahatan tersebut, al-Quranulkarim telah menetapkan suatu ketentuan umum bagi hukuman karena pelanggaran-pelanggaran dalam firman Allah Swt:
“Dan, balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (QS. Asy-Syura: 40)
Prinsip mulia ini sangat penting dan ditetapkan baik kepada pribadi yang melakukan pelanggaran terhadap orang lain maupun juga pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat. Ada sejumlah perintah Al-Quran yang berhubungan dengan hukuman terhadap para pelanggar sebagai petunjuk bagi ummah: “Dan jika kamu menghukum maka bukanlah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS. 16: 126). “Dan siapa saja membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya”. (QS. 22: 60). “Maka siapa saja yang menyerang kamu, maka serang lah ia, seimbang dengan serangannnya terhadapmu.” (QS. 2: 194).
c. Analisis Perbedaan antara Jinayah dan Hudud
Penyebutan tindak pidana di kalangan fuqaha dikenal istilah jinayah dan kadang disinonimkan pula dengan jarimah. Baik jinayah maupun jarimah adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap kelakuan buruk yang dilakukan oleh seseorang. Namun, jika dimaknai secara terpisah maka jinayah diartikan sebagai perbuatan yang hanya menunjuk perbuatan yang dilarang saja. Sedangkan kata jarimah menunjuk kepada suatu perbuatan sebagai kejahatan yang mengancamnya dengan pidana. Adapun Tindak pidana hudud merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana had, yaitu pidana ketentuannya macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt.
3. Analisis Perbandingan Sanksi Tindak Pidana dalam Jarimah Hudud dan KUHAP
a. Perampokan
Sanksi tindak pidana pencurian dengan kekerasan (perampokan) sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 365 KUHP sanksinya bermacam-macam, tergantung akibat yang dilakukan oleh pelaku pencurian itu. Sanksinya dapat berupa: sembilan tahun, dua belas tahun, lima belas tahun, dan hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun.[20] Sedangkan dalam hukum pidana Islam, bahwa pelaku hirabah itu di dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 33[21], yaitu: (a) Hukum bunuh dengan secara hebat dan berwibawa; jika pelakunya membunuh, tetapi tidak mengambil harta. (b) Hukum salib, yaitu dibuat kayu palang, lalu dinaikkan dia ke kayu palang itu, dan dibiarkan di sana sampai mati. Atau dibunuh setelah beberapa waktu dia tergantung itu; jika pelakunya membunuh dan mengambil harta. (c) Dipotong tangannya, dan kakinya berselang seling, jika pelakunya mengambil harta dan tidak membunuh. (d) Dibuang dari bumi, yakni dipenjara atau takzir, jika pelakunya hanya menakut-nakuti orang yang lewat dan tidak mengambil harta.[22]
b. Zina
KUHP merumuskan bahwa hubungan seksual di luar nikah hanya merupakan kejahatan (delik) apabila pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang terikat perkawinan. Jika salah satu pelaku perzinahan lajang tidak termasuk delik perzinahan.[23] Sedangkan Hukum pidana islam merumuskan delik perzinahan bukan hanya hubungan seksual yang di lakukan oleh orang-orang yang sudah terikat perkawinan saja (muhsan), tetapi juga oleh orang-orang yang sama-sama belum menikah (ghairu muhsan).[24] Al-Quran menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina masing-masing didera sebanyak 100 kali(QS,an-Nur: 2)[25]dan diasingkan selama satu tahun,[26] begitu pula dalam hadits menjelaskan hukuman cambuk dan rajam bagi penzina yang telah menikah.[27]
c. Pro dan Kontra Legislasi Hukum Jinayah dan Hudud di Indonesia
Mayoritas masyarakat Muslim meyakini bahwasa Syariat islam bersifat universal, tidak terhapus oleh tempat dan waktu dan tidak lekang dimakan zaman, masyarakat muslim juga meyakini bahwasanya seorang muslim harus masuk kedalam islam secara kaffah (Sepenuhnya), syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945.
Tidak dapat dipungkiri, legislasi hukum junayah dan hudud di Indonesia akan ditanggapi dengan berbagai perspektif yang berbeda. Setidaknya perspektif tersebut dikemukakan oleh tiga katagori kelompok Islam yaitu: As-Salafiyah yaitu kelompok yang berusaha kembali kepada masa Islam klasik untuk mencari solusi dari modernitas. al-Libraliyah, Kelompok yang membuang seluruh warisan klasik dan berkiblat kepada pengetahuan Barat. Dan al-Jadaliyah yaitu kelompok yang berupaya untuk menjadikan tradisi Islam sebagai alat revolusi[28]
Anggapan bahwa penerapan hukum jinayah dan hudud adalah sebuah kekejaman menjadi tuduhan yang sering disematkan oleh orang-orang yang kontra terhadap legislasi hukum pidana Islam di Indonesia. Aceh sebagai daerah yang mendapat izin melaksanakan Syariat Islam menuai sikap penolakan yang berasal dari Amnesty International; Sam Zafiri, Direktur Asia Pasifik Amnesty International, tanggal 22 Mei 2011 meminta Pemerintah Indonesia menghentikan sanksi cambuk di Aceh karena dianggap bertentangan dengan hukum internasional.[29] Desakan agar hukum cambuk di Serambi Mekkah dicabut juga datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras Indria Fernida dalam rilisnya menyayangkan masih berlangsungnya hukuman cambuk di Aceh, meski hal itu dilakukan berdasarkan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.[30]
Menghadapi penolakan ini, para ulama dan akademisi di Aceh memberikan pembelaan akademis, antara lain Tgk H. Imam Suja (mantan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh), Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh), dan Badruzzaman Ismail (Ketua Majelis Adat Aceh). Dengan seragam para ulama ini menyatakan bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh tidak melanggar hak azasi manusia (HAM), karena peraturan tersebut sudah diatur dalam syariat Islam.[31] Menapik anggapan bahwa hukum Islam tersebut kejam, perlu dicermati barometer dari sebuah anggapan kekejaman. Sesuatu dikatakan kejam apabila ia dilakukan tanpa dasar yang jelas dan tanpa batas yang pasti. Adapun hukum pidana Islam, dia memiliki landasan yang sangat kuat dan tidak mungkin diubah, yaitu Alqur’an dan As-Sunnah. Hukum pidana Islam bukan sekedar dugaan-dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil.
Hukuman yang dijatuhkan dalam pidana Islam hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat-syarat yang ketat. Dalam hal perzinaan misalnya, seorang yang dituduh berzina tidak akan dirajam jika penuduh tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang menyaksikan langsung bahwa tertuduh telah berzina. Pemotongan tangan dalam kasus pencurian tidak terjadi kecuali dengan syarat-syarat tertentu, seperti barang yang dicuri harus mencapai nishab. Sedangkan qishash tidak bisa dilakukan jika ada salah seorang keluarga korban yang memaafkan pelaku atau memilih diyat. [32]
Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran ke arah tersebut banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
Hukum yang bersifat normatif hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontra produktif. Ketika bangsa ini hendak memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Dengan demikian, hukum pidana Islam sebagai hukum publik perlu diperhatikan secara mendalam untuk dilegislasi menjadi hukum positif.
d. Penutup
Hukum Pidana Islam atau fikih jinayat merupakan bagian dari Syari’at Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah Saw. Hukum Islam masuk ke nusantara bersama-sama dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pelembagaan hukum Islam pertama-tama dilakukan oleh para kaum muslim. Kemudian peningkatan efektifitas penamannya dilakukan oleh para ulama. Kemudian efektifitasnya dikukuhkan oleh berdirinya kerajaan dan kesultanan Islam. Perkembangan politik hukum pemerintah penjajah pada sekitar abad ke-19 hingga kemerdekaan Indonesia bahkan sampai sekarang masih berpengaruh dalam menetapkan suatu hukum pidana di Indonesia.
Tindak pidana dengan segala persoalannya dalam perspektif hukum Islam dibahas dalam fiqh jinayah. Indonesia yang berdiri atas dasar Negara pancasila dengan konstitusi UUD 45 juga mengatur tindak kejahatan yang sama dalam ilmu hukum yang dikenal sebagai Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, strafrecht. Buku atau kitab yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau kejahatan dan hukuman yang diancam kepada pelaku perbuatan tersebut dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht.
Memahami istilah jinayah dan hudud yang digunakan dalam fiqh jinayah dapat disimpulkan bahwa dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqh yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut fiqh Jinayah. Adapun tindak pidana hudud dapat dipahami sebagai pidana yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt. Pidana tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, karena sudah ditetapkan oleh Allah Swt.
Diskursus legislasi jinayah dan hudud di Indonesia sebagai hukum nasional menjadi wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran ke arah tersebut menuai tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan, walaupun pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim.
Al-Hadits, Shahih Muslim
Abubakar, Ali. 2012. “Kontroversi Hukuman Cambuk”. Media Syari’ah. Vol 14. No 1.
Budianto, Kun. 2013. “Hukum Pidana Islam: Perspektif Keadilan” Nurani. Vol 13. No 1.
Hadana, Erha Saufan. 2017. “Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam Fikih Jinayah”. Jurista. Vol 6. No 1.
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Hamzani, Achmad Irwan. 2016. “Sejarah Berlakunya Hukum Pidana Islam Di Nusantara”. Hikmatuna. Vol 2 No 2.
Hidayat, H. Iman. 2016. “Analisis Normatif Tindak Pidana Perzinahan Dilihat dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol 16. No 1.
Husna, Nurul. 2017. “Hukum Jinayah Antara Aplikasi Dan Sejarah”. Legalite: Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam. Vol II. No 1.
Irfan, Nurul dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: AMZAH.
Ishaq. 2015. “Sanksi Pidana Perampokan dalam Kuhp dan Hukum Pidana Islam”. Ahkam Vol XV. No 2.
Komson. 2008. “Relevansi Jarimah Hudud dengan Perkembangan Kontemporer”. skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Rambe, Hendri Nauli, Alvi Syahrin, M.Hasballah Thaib, Marlina. 2016. “Perzinahan Dalam Presfektif Islam Sebagai Alternatif Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Perzinahan Di Indonesia” USU Law Journal, Vol 4. No 1.
Syafi’I. 2017. “Al-Bughot Dalam Perspektif Mazhab Fiqh”. Kordinat Vol XVI. No 2 .
Puyu, Darsul S. 2012. “Konsep Pidana Hudud Menurut Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik”. Al-daulah. Vol 1 No 1.
[1]Kun Budianto, “Hukum Pidana Islam: Perspektif Keadilan” Nurani, Vol 13, No 1, (Juni 2013), 39.
[2] Nurul Husna, “Hukum Jinayah Antara Aplikasi Dan Sejarah”, Legalite: Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam, Vol II, No 1, (Januari - Juni 2017),
[3] Ibid, 86.
[4] Achmad Irwan Hamzani, “Sejarah Berlakunya Hukum Pidana Islam Di Nusantara”, Hikmatuna, Vol 2 No 2 (Desember 2016), 273.
[5] Ibid, 274.
[6]Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 12.
[7]Ibid, 13.
[8] Erha Saufan Hadana, “Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam Fikih Jinayah”, Jurista, Vol 6, No 1, (Juni 2017), 56
[9]Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 13-14.
[10]Ibid, 15.
[11]Darsul S. Puyu, “Konsep Pidana Hudud Menurut Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik”, Al-daulah 1, No. 1 (2012).
[12]Ibid.
[13] Achmad Irwan Hamzani, Op.Cit, 266.
[14] Qadhf menurut bahasa adalah ramyu asy-syai yang artinya melempar sesuatu. Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah melempar tuduhan (wat’i) zina kepada orang lain atau tidak mengakui keturunan (nasab) dari isteri yang sah. Asas legalitas terhadap qadhf dalam al-Quran terdapat dalam ayat: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. an-Nur:4) dan “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”. (QS.an-Nur:23). (untuk pengertian, Lihat: Komson, “Relevansi Jarimah Hudud dengan Perkembangan Kontemporer”, skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2008)
[15] Sanksi bagi pelaku pencurian dalam Islam terdapat dalam quran surah al-Maidah:38, وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
[16] Lafaz al-bughot adalah bentuk jamak dari isim fail baghin yang berasal dari lafaz bagho-yabghi yang mengandung arti mencari, durhaka, berpaling, melampaui batas atau melawan dan zholim. Bughot dapat dipahami sebagai kelompok ummat muslim yang berkeinginan untuk mengadakan perlawanan kepada imam atau pemerintahan yang sah dengan cara melakukan tindakan makar dan tindakan ini dilakukan dengan terorganisir dibawah satu kepemimpinan. Sanksi bagi kaum muslimin yang melakukan tindakan bughot dalam hadits yang shaheh Rosulullah Saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah dalam keadaan mati jahiliyyah”. (HR. Muslim). (Lihat: Syafi’I, “Al-Bughot Dalam Perspektif Mazhab Fiqh”, Kordinat Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017), 206.)
[17]Hukum yang menjelaskan tentang keharaman khamer secara tegas dapat dilihat dalam Quran surah al-Maidah: 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Dan juga dijelaskan dalam hadits Dari Ibnu Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ "Setiap yang memabukkan itu adalah khamer dan setiap khamer itu adalah haram." (HR. Muslim) . adapun sanksi yang diberikan kepada orang yang meminum khamar dapat dilihat dalam hadis yang shaheh: عن حُضَيْن بْن الْمُنْذِرِ أَبُو سَاسَانَ قَالَ شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ قَدْ صَلَّى الصُّبْحَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ أَزِيدُكُمْ فَشَهِدَ عَلَيْهِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا حُمْرَانُ أَنَّهُ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ آخَرُ أَنَّهُ رَآهُ يَتَقَيَّأُ فَقَالَ عُثْمَانُ إِنَّهُ لَمْ يَتَقَيَّأْ حَتَّى شَرِبَهَا فَقَالَ يَا عَلِيُّ قُمْ فَاجْلِدْهُ فَقَالَ عَلِيٌّ قُمْ يَا حَسَنُ فَاجْلِدْهُ فَقَالَ الْحَسَنُ وَلِّ حَارَّهَا مَنْ تَوَلَّى قَارَّهَا فَكَأَنَّهُ وَجَدَ عَلَيْهِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ قُمْ فَاجْلِدْهُ فَجَلَدَهُ وَعَلِيٌّ يَعُدُّ حَتَّى بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَالَ أَمْسِكْ ثُمَّ قَالَ جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
Dari Hudhain bin Al Mundziri Abu Sasan, dia berkata, "Saya pernah melihat Al Walid diajukan kepada Utsman bin Affan, setelah dia melakukan shalat Subuh dua rakaat." Lalu Al Walid berkata, "Apakah saya boleh menambah untuk kalian?' Ada dua orang lelaki yang menjadi saksi atas perbuatannya salah seorang di antaranya adalah Humran. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Al Walid meminum khamer. Sementara yang lain bersaksi bahwa ia pernah melihat Al Walid sedang muntah-muntah (setelah minum khamer)." Utsman bin Affan berkata, "Sesungguhnya Al Walid tidak akan muntah-muntah hingga ia selesai minum khamer." Setelah itu Utsman pun berkata kepada Ali, "Ya Ali, bangun dan deralah Al Walid!" Ali pun berkata kepada Hasan, "Hai Hasan, bangun dan deralah Al Walid!" Kemudian Hasan pun berkata, "Sebaiknya kita serahkan saja pelaksanaan hukuman dera ini kepada Khalifah Utsman dan para aparatnya." Lalu ia pun berkata kepada Abdullah bin Ja'far, "Hai Abdullah, bangun dan laksanakanlah hukuman dera terhadap Al Walid!" Akhirnya Abdullah bin Ja'far menyanggupi pelaksanaan hukuman tersebut terhadap Al Walid, sementara Ali bin Abu Thalib yang menghitungnya. Ketika deraan sudah sampai pada hitungan empat puluh, Ali bin Abu Thalib berseru, "Berhenti!" Setelah itu Ali pun berkata, "Dahulu, Rasulullah SAW pernah mendera seseorang yang meminum khamer sebanyak empat puluh kali, dan Abu Bakar juga pernah melakukan hal yang sama. Sementara Umar bin Khaththab pernah melaksanakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Sebenarnya semua itu Sunnah (pernah dilakukan), dan itulah yang lebih aku sukai." (HR. Muslim)
[18]Secara estimologinya al-riddah adalah bentuk mashdar dari kata ردرٍد yang berarti memalingkanya, mengembalikanya. Riddah dapat dipahami orang murtad ialah seorang muslim mukallaf yang keluar daripada agama Islam sama ada dengan kepercayaan, perkataan atau perbuatan dengan kehendak sendiri. Dan perkataan murtad membawa maksud keluar dari berpegang dengan agama Islam tanpa mengira apa jenis sekalipun agama bukan Islam. (Lihat: Hj. Siti Zailia, “Murtad Dalam Prespektif Syafi’i Dan Hanafi”, Istinbath, No 15 Th XIV, (Juni 2015),71). Murtad dalam bebrapa ayat al-Quran menyebutkan: “…Siapa saja yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. al-Baqarah:217). Kemudian, “Siapa saja yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”. (QS.al-Maidah:5) dan, “Siapa saja yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman , kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman , akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS.al-Nahl:106)
[19] Nurul Husna,Op.Cit. 88.
[20]sanksi pidana Sembilan tahun diancamkan bagi pelaku perampokan, jika perbuatan pencurian itu dilakukan dengan cara didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sanksi dua belas tahun dijatuhkan terhadap pelaku perampokan atau pencurian dengan kekerasan, jika perbuatan pencurian itu dilakukan pada waktu malam di dalam rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. Dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan dilakukan dengan membongkar, memanjat, memakai pakaian palsu, perintah palsu, dan pakaian jabatan palsu, perbuatan pencurian tersebut mengakibatkan ada orang yang mendapat luka berat. Pengancaman hukuman lima belas tahun penjara terhadap pelaku pencurian dengan kekerasan, jika perbuatan pencurian itu mengakibatkan matinya orang. Sanksi pidana mati, hukuman penjara seumur hidup, atau penjara dua puluh tahun apabila perbuatan pencurian itu menyebabkan ada orang yang mendapat luka berat atau mati, dan dilakukan oleh dua orang secara bersama-sama atau lebih.
[21] إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
[22] Ishaq, “Sanksi Pidana Perampokan dalam Kuhp dan Hukum Pidana Islam”, Ahkam Vol XV, No 2, (Juli 2015), 151.
[23] Ketentuan perzinahan dalam KUHP di atur dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan dan secara khusus mengatur perzinahan pada pasal 284 yang berbunyi :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
1. a. Laki-laki yang beristeri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 BW berlaku padanya
b. Perempuan yang bersuami, berbuat zina
2. a. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami.
b. Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristeri dan pasal 27 BW berlaku baginya
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan jika pada suami/isteri itu berlaku pasal 27 BW dalam tenggan waktu 3 bulan sesudah pengaduan itu, diikuti dengan permintaan akan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan perbuatan itu juga.
(3) Tentang pengaduan ini pasal 27, 73 dan 75 tidak berlaku.
(4) Pengaduan itu boleh dicabut selama pemeriksaan di muka sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Kalau bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 BW maka pengaduan itu tidak di indahkan, sebelum mereka itu bercerai, atau sebelum keputusan hakim tentang pisah meja dan ranjang berlaku tetap. ( Lihat: H. Iman Hidayat, “Analisis Normatif Tindak Pidana Perzinahan Dilihat dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol 16, No 1 ( 2016 ), 45.)
[24] Hendri Nauli Rambe, Alvi Syahrin, M.Hasballah Thaib, Marlina, “Perzinahan Dalam Presfektif Islam Sebagai Alternatif Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Perzinahan Di Indonesia” USU Law Journal, Vol.4.No.1(Januari 2016). 76
[25]الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”
[26] Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari 'Ubaidullah bin "Abdillah bin 'Utbah dari Zaid bin Khalid Al Juhani mengatakan; 'Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh menghukum orang yang berzina dan dia belum menikah dengan dera seratus kali dan diasingkan selama setahun.' Kata Ibnu Syihab, dan telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Khattab pernah mengasingkan (pelaku zina), dan yang demikian menjadi sunnah. (HR. Bukhari)
[27] كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كُرِبَ لِذَلِكَ وَتَرَبَّدَ لَهُ وَجْهُهُ قَالَ فَأُنْزِلَ عَلَيْهِ ذَاتَ يَوْمٍ فَلُقِيَ كَذَلِكَ فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ خُذُوا عَنِّي فَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ وَالْبِكْرُ بِالْبِكْرِ الثَّيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ رَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ وَالْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ نَفْيُ سَنَةٍ
Dari Ubadah bin Shamit RA, dia berkata "Setiap kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW, maka beliau terlihat sangat susah dan wajahnya berubah menjadi pucat. Pada suatu ketika wahyu turun kepadanya, dan beliau terlihat sangat susah. Setelah tenang kembali, beliaupun bersabda, 'lkutilah semua ajaranku Allah telah menentukan hukum bagi kaum wanita! Hukuman seorang perempuan yang bersuami adalah sesuai statusnya sebagai perempuan yang bersuami dan hukuman seorang perawan juga sesuai statusnya sebagai perawan. Hukuman bagi perempuan yang bersuami adalah didera seratus kali dan setelah itu dirajam atau dilempari dengan batu. Sedangkan hukuman bagi seorang perawan adalah didera seratus kali serta dikeluarkan dari daerahnya selama satu tahun”. (HR.Muslim)
[28] Nurul Husna,Op.Cit. 89.
[29] Ali Abubakar, “Kontroversi Hukuman Cambuk”, Media Syari’ah, Vol 14, No 1, (2012), 68.
[30] Ibid, 69
[31] Ibid, 70
[32] Kun Budianto, Op.Cit, 45.
Komentar
Posting Komentar