Paradigma; Islam Yes, Partai Islam No



 Paradikma; Islam Yes, Partai Islam No
Oleh: Meta Ratna Sari dan Wulan A. Br. Tarigan

A.  Pendahuluan
Agama dan politik merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya juga telah menjadi bahan pemikiran para cendikiawan. Hubungan antara agama dan politik selalu menarik untuk dikaji, karena keduanya sama-sama memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola kehidupan politik, berkembanglah pemikiran politik Islam yang beragam. Satu diantara pemikiran politik Islam yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia adalah pemikiran bersifat rasional dan fungsional seorang cendikiawan muslim yaitu Nurcholis Majid
Nurcholish Madjid merupakan tokoh pembaharuan pemikiran Islam yang tidak hanya menarik, tetapi juga unik dan membingungkan, baik dalam wacana pemikiran keagamaan (Islam), budaya, maupun politik di Indonesia. Nurcholish Madjid merupakan sosok yang dinilai kontroversial. memahami pemikiran kontroversi seorang cendikiawan Muslim, Nurcholis Madjid bukanlah suatu hal yang mudah, karena beliau selalu memberikan pemikiran pembaharuan yang tak lazim di zamannya. Terutama dalam bidang politik tulisan-tulisan beliau sangat kompleks dan materinya boleh dikatakan komprehensif, menarik, tajam, dan selalu mengandung gagasan-gagasan cerdas.
Pembaharuan pemikiran yang diberikan pada bidang politik salah satunya adalah gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”. yang dinilai kontroversi tidak hanya mengundang banyak apresiasi namun juga resistensi. gagasan yang dilontarkan oleh Nurcholish Majid ini sontak ditanggapi oleh para tokoh intelektual muslim lainnya. Diantaranya ada yang memberikan kecaman terhadap gagasan Nurcholis Majid yang dinilai sekular, namun diantara yang lainnya juga menyambut baik dan mengapresiasi pemikiran beliau tersebut.
Memahami pemikiran Nurcholish Majid secara komperhensif bukanlah suatu hal yang mudah, karena latar belakang keilmuan seorang nurcholish Majid sangatlah komplit. Beliau lahir dari kalangan keluarga pesantren yang sudah dapat dipastikan memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Pada makalah ini penulis mencoba untuk menbahas sebuah gagasan pemikiran politik Nurcholish Majid yang disampaikannya dalam forum silatirahmi HMI, GPI, PII, dan Persami, mengenai gagasan Islam Yes, Partai Islam No    


B.    Islam dan Politik
 Nuansa politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam ideal era Nabi SAW bukanlah utopia, sebab model itu pernah terbukti dalam sejarah. Setelah Rasulullah SAW wafat, paradigma politik Islam terus berkembang. Dien Syamsuddin, mengkatagorisasikannya pada tiga paradigma; Pertama, Agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integrated). Kedua, Agama dan negara berhubungan secara (simbiotik). Ketiga, Islam tidak mempunyai kaitan apaupun dengan sistem pemerintahan (sekularistik).[1]
Paradigma pertama menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena melihat bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang di dalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Dalam pandangan kelompok ini, syari’ah dipahami sebagai totalitas yang par excelent bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah.[2]
Paradigma kedua menyatakan bahwa antara agama dan negara saling terkait dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Begitupun, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.  Sedangkan paradigma yang Ketiga adalah paradigma yang menyatakan perlunya adanya pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini menolak paradigma yang pertama dan paradigma yang kedua.[3]
Permasalahannya adalah, apakah paradigma seperti disebutkan di atas berkembang pula dalam pemikiran politik Islam di Indonesia?  Jika mengamati dinamika politik Islam di Indonesia, maka terlihat bahwa politik Islam di Indonesia tidak terlepas dari ketiga paradigma tersebut meski dengan nuansa yang berbeda. Namun bila dikwalifikasikan, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma hubungan antara agama dan negara di Indonesia cenderung berkembang adalah pemikiran formalistik dan substantivistik. Kelompok formalisme keagamaan cenderung melakukan politisasi agama, sedangkan kelompok substantivisme keagamaan cenderung melaksanakan substansi agama ke dalam proses politik.[4]
C.     Partai Politik Islam
Genealogi partai politik di Indonesia dimulai sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X tahun 1945 yang memperbolehkan berdirinya partai-partai politik. Sebagai respon umat Islam dari maklumat tarsebut berdirilah partai Masyumi yang dimaksudkan sebagai satu-satunya partai yang akan memperjuangkan aspirasi dan nasib umat islam. Masyumi didukung oleh dua ormas besar Islam yaitu NU dan Muhammadiyah. Namun dalam perjalanannya, para pendukung Masyumi keluar satu-persatu bermula dengan keluarnya PSII tahun 1947, Kemudian disusul oleh NU tahun 1952. Bukan hanya Masyumi, NU, PSII dan Perti, disamping itu berdiri pula PPTI, dan AKUI. Akibatnya pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama sejak indonesia mardeka, kekuatan politik Islam sudah terpecah-pecah.[5]  
Dampak perpecahan tampakkanya membuat umat Islam menjadi bingung karena siapa sesungguhnya yang menjadi representasi dari Islam. Ini terjadi karena partai-partai Islam itu semuanya mengklaim sebagai perwujudan representasi dan aspirasi Islam. Hingga  hasil pemilu menunjukkan ternyata partai-partai Islam tidak memperoleh dukungan suara mayoritas dari umat Islam. Masyumi hanya memperoleh suara 20,9%, NU 8,4%, PSII 2,0%, Perti 1,3%, serta PPTI dan AKUI masing-masing memperoleh suara 0,2%
Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah adalah hasil pemilu pertama Orde Baru pada 1971, yang membawa kemenangan mutlak kepada Golkar, dengan perolehan 62,80 % suara. Partai Islam memperoleh jatah suara yang kecil. Hanya NU yang memperoleh jumlah suara relatif besar yaitu: 18,67 %, sedikit lebih baik dibandingkan dengan perolehan suara NU pada 1955 (18,4 %). Parmusi, yang digambarkan sebagai pengganti Masumi, benar-benar hancur dan hanya memperoleh 5,36 %, jauh dari perolehan Masyumi pada Pemilu 1955 (20,9 %). Partai Islam lain, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), masing-masing hanya memperoleh 2,39 % dan 0,70 % suara.[6]
secara sosiologis umat Islam Indonesia mayoritas, tetapi realitas estimasi dan optimisme pendukung partai Islam tidak sebanding dengan jumlah umat Islam itu sendiri, bahkan hanya sebagian kecil saja. Pada Pemilu 1955, partai-partai Islam hanya memperoleh suara 43,9%, Pemilu 1971 turun menjadi 27,3%, Pemilu 1977 naik menjadi 29,3%, Pemilu 1982 turun kembali menjadi 27,8%, Pemilu 1987 turun lagi menjadi 16,0%, Pemilu 1992 tetap 16,0%, Pemilu 1997 naik menjadi 22,0, Pemilu 1999 (di luar PAN dan PKB) turun menjadi 17,8% dan Pemilu 2004 naik menjadi 21,17%. Meskipun jumlah suara dukungan partai-partai Islam naik-turun tetapi perolehan suara mereka tidak dapat menyamai perolehan suara pada Pemilu 1955. Ini mengindikasikan bahwa dukungan umat Islam terhadap partai Islam terus menurun.[7] Pada pemilu tahun 2009 perolehan suara partai islam adalah PKS 7,88%, PPP 5,32%, PKNU 1,47%, PBR 1,21% dan PMB 0,40%.[8] sedangkan pada pemilu tahun 2014 PKS 7,07%, PPP 6,75% dan PBB 1.47%.[9]
Pemilu
Partai
Suara (%)
1955
Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, dan AKUI
43,9
1971
NU, Parmusi, PSII, Perti
27,1
1977
PPP
29,3
1982
PPP
27,8
1987
PPP
16,0
1992
PPP
16,0
1997
PPP
22,0
1999
PPP, PBB, PK, PNU, PP,PPI, Masyumi, PSII, PKU,KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, dan PID
17,8
2004
PPP, PBB, PKS, PBR,dan PPNUI
21,17
2009
PKS, PPP, PKNU, PBR dan PMB
16,28
2014
PKS, PPP dan PBB
15,29
 *PAN dan PKB tidak termasuk sebagai kategori partai Islam karena kedua partai tersebut tidak berdasarkan pada asas Islam meski basis dukungannya pemilih Islam.

D.    Islam Yes, Partai Islam No?
Sejalan dengan arah perubahan pola kehidupan politik, berkembanglah pemikiran Islam yang cenderung bersifat rasional dan fungsional. Salah seorang cendikiawan muslim yang terkenal dengan gagasan pembaharuan pemikiran politik Islam adalah Nurcholoish Majid. Beliau lahir di Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Dan berasal dari kalangan keluarga pesantren, putra seorang guru Madrasah al-Wathaniyah di Jombang, Haji Abdul Madjid, murid dari KH Hasyim Asy’ari. Dengan demikian tidak dapat diingkari bahwa wawasan intelektual Abdul Madjid dibentuk oleh guru dan pembimbingn terutama ketika Abdul Madjid mengikuti KH Hasyim Asy’ari untuk bergabung dalam Masyumi. Dari ayahnya Madjid terintegrasi dengan pemikiran dan gerakan NU. Sedangkan pengaruh Muhammadiyah dapatkan ketika kuliah jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau sering berinteraksi dengan Buya Hamka.[10]
Pendidikan Nurcholish Majid dimulai dari Sekolah Rakyat (SR), sekolah resmi pertama yang didirikan pemerintah Indonesia, dan Madrasah Ibtidaiyah (sore hari) yang didirikan oleh ayahnya. Setelah tamat SR pada tahun 1952 Ia melanjutkan ke pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Namun di sekolahnya ini Nurcholis Majid hanya dapat bertahan selama dua tahun. kemudian pindah ke pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa  Timur (1965).[11] IAIN Syarif Hidayatullah (BA, Sastra Arab. 1960). IAIN Syarif Hidayatullah (BA, Sastra Arab. 1968). Dan The University of Chicago, Illinois, Amerika Serikat (Studi Agama Islam, 1984).[12]
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1970–an, Nurcholish Majid menjelma menjadi sebuah fenomena sekaligus sosok yang kontoversial. Kontribusi dari pemikirannya menuai apresiasi sekaligus resistensi. Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halal bilhalal di depan keluarga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Salah satu diantara cakupan bahasannya ialah tentang Islam Yes, Partai Islam No.[13]
Konsep “Islam Yes, Partai Islam No, tersebut tentu tidak lahir dengan begitu saja dan terkesan tiba-tiba. Dan juga tidak lahir dalam ruang sosio histories yang tidak bermakna. Dalam banyak kasus, pembaharuan selalu muncul dengan berbagai persoalan yang merupakan kelanjutan dari pembaharuan pemikiran Islam yang pernah muncul pada masa-masa sebelumnya.[14] Demikian pula halnya dengan ide pembaharuan pemikiran Islam yang disampaikan oleh Nurcholis Majid tersebut.
Ide tentang “Islam Yes, Partai Islam No” berasal dari pandangan secara faktual dan dari pengamatan langsung oleh Nurcholis Majid terhadap situasi umat Islam pada masa itu. Nurcholish memformulasikan realitas yang diamatinya itu dengan sebuah pertanyaan; “Sejauh manakah mereka tertarik kepada partai-partai dan organisasi-organisasi Islam?”. Nurcholish Majid mengatakan, sudah jelas mereka sama sekali tidak tertarik, kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan  Islam Yes, Partai Islam No”. Nurcholish Majid memaparkan jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan, maka jelas ide-ide tersebut sudah tidak menarik lagi. Dengan kata lain, ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sudah memfosildan menjadi using dan kehilangan dinamika. Lebih dari itu, partai-partai Islam tidak berhasil membangun citra yang positif dan simpatik. Bahkan yang ada hanyalah citra yang sebaliknya, banyak diantaranya yang terlibat dalam kasus korupsi.[15]
Gagasan Nurcholish tersebut kemudian mengundang reaksi yang cukup keras baik dari kalangan intelektual muda atau kalangan tua. Kalangan muda yang memberi tanggapan diantaranya Endang Syaifuddin Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani. Sedangkan dari kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Abdul Qadir Djaelani dari kalangan muda misalnya mengatakan bahwa Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang bertentangan dengan Islam. Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan sekularisme tersebut.[16]
Sedangkan dari kalangan tua yang diwakili Rasyidi, ia berpendapat pandangan Nurcholish sangat naif karena bersumber dari kekacauan berpikir. Bahkan Rasyidi menuduh Nurcholish sebagai seorang yang mirip dengan Orientalis yang begitu tinggi kecurigaannya terhadap Islam. Ia juga memperingatkan agar umat Islam khususnya kalangan muda untuk berhati-hati dengan ide pembaruan Nurcholish. Begitupun dengan Hamka dan Natsir, meski tidak secara langsung menyebut nama Nurcholish tapi dalam beberapa pidatonya, ia menganjurkan agar umat Islam lebih berhati-hati dengan ide pembaruan tersebut. Ia menyeru agar umat Islam lebih bersatu sehingga cita-cita politik bisa tercapai.
Sebaliknya bagi para pendukung gagasan Nurcholish lebih memilih untuk diam dan memperkokoh pendiriannya meskipun bertentangan dengan arus utama. Diantara nama-nama yang mendukung ide Nurcholish tersebut diantranya Djohan Effendi, Utomo Danajaya, Eky Syahruddin dan Usep Fathuddin. Salah satu dari pendukung gagasan Nurcholish seperti Dawam Raharjo bahwa mereka lebih memilih melawan arus dan memberanikan diri melawan umat, karena menurutnya pa yang dikehendaki oleh umat tersebut bukanlah yang mereka butuhkan. [17]
Menanggapi kontroversi yang berdatangan, Nurcholish Majid menulis artikel berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan Dikalangan Umat Islam Indonesia” yang disampaikan dalam acara “Clender of Evens” pada Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Artikel tersebut dimaksudkan untuk menjawab kesalahpahaman terhadap istilah sekularisasi[18] yang digunakannya. Dalam artikel tersebut, Nurcholis Majid tidak lagi menggunakan term sekularisasi melainkan paham apologetik Islam.[19]  
E.      Refleksi terhadap Gagasan Nurcholish Majid
Pembaharuan pemikiran cendikiawan muslim, Nurcholish majid merupakan sebuah pemikiran yang selalu hangat untuk dibahas bahkan terus disemarakkan, terutama bagi para penerus pemikiran beliau. Sebagai seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam dengan gagasan yang cenderung “melawan arus” sudah dapat dipastikan disetiap gagasannya banyak menuai apresiasi dan resistensi baik dikalangan masyarakat biasa maupun kaum intelektual.
Pembaharuan pemikiran Nurcholish Majid yang terkesan “melawan arus” dalam bidang politik salah satunya adalah gagasan beliau tentang Islam Yes, Partai Islam No yang disampaikannya dalam acara halal bilhalal di depan keluarga HMI, GPI, PII, dan Persami di Jakarta. Gagasan yang dinilai sekuler ini sontak mendapat tanggapan dari masyarakat Indonesia terutama dari kalangan intelektual muslim.
Pada dasarnya bila mencermati pemikiran Nurcholish Majid yang bersifat inklusif dan substansif, maka pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No” bukanlah sebuah pemikiran yang tanpa dasar. Gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” yang dinilai sekuler juga bukanlah sebuah kontribusi pemikiran tanpa anotasi. Sekuler yang dimaksudkan oleh Nurcholish Majid adalah sekularisasi bukan sekularisme, “membedakan” bukan “memisahkan”.
Munculnya gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” juga tidak terlepas dari kondisi politik yang terjadi pada saat itu. Bila melihat bagaimana latar belakang lahirnya pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No” berangkat dari sebuah temuan dan renungan Nurcholish Majid tentang _sejauh mana orang tertarik dengan partai Islam_ Nurcholish menyimpulkan bahwa orang tidak tertarik dengan partai Islam, kecuali hanya sedikit. Hal ini dapat dibuktikan dengan kualitas umat Islam yang digadang sebagai umat Islam terbanyak di dunia tidak dapat membuat perolehan suara partai Islam ungul dalam pemilu__Bahkan kekalahan suapa partai Islam dapat disaksikan dari masa kemasa disetiap pemilihan umum. Ditambah lagi dengan kegagalan dari sebagian partai Islam yang tidak berhasil membangun citra yang positif.
Ide sekularisasi Nurcholish sebenarnya ditujukan untuk merespon persoalan politik Indonesia pada tahun 1970-an. Hal ini utamanya karena umat Islam tidak lagi mampu membedakan mana urusan agama dan negara. Namun bila diperhatikan rangkaian perkembangan partai islam dari awal hingga pasca reformasi terlihat bahwa peningkatan islamisasi di indonesia tidak berkorelasi positif dengan peningkatan perolehan suara partai-partai Islam. Dengan demikian gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” pada kenyataannya masih relevan hingga sekarang dan akan tetap relevan bila dimaknai secara subtansif meski akan tetap menuai kontroversial yang berkepanjangan dikalangan intelektual Muslim. 


F.    Kesimpulan
Pemahaman Islam dan politik dalam pandangan Dien Syamsuddin, mengkatagorisasikannya pada tiga paradigma; Pertama, Agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integrated). Kedua, Agama dan negara berhubungan secara (simbiotik). Ketiga, Islam tidak mempunyai kaitan apaupun dengan sistem pemerintahan (sekularistik)
Genealogi partai politik di Indonesia dimulai sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X tahun 1945 yang memperbolehkan berdirinya partai-partai politik. Sebagai respon umat Islam dari maklumat tarsebut berdirilah partai Masyumi. Secara sosiologis umat Islam Indonesia mayoritas, tetapi realitas estimasi dan optimisme pendukung partai Islam tidak sebanding dengan jumlah umat Islam itu sendiri, bahkan hanya sebagian kecil saja.
Pembaharuan pemikiran Islam dalam bidang politik yang mengundang reaksi dari berbagai kalangan diantaranya pembaharuan pemikiran Nurcholish Majid dengan gagasannya tentang Islam Yes, Partai Islam No yang disampaikannya dalam acara halal bilhalal di depan keluarga HMI, GPI, PII, dan Persami di Jakarta.



Referensi


Abidin, Zainal. Oktober 2014. “Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi antara Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemoderenan”. Humaniora. Vol 5. No 2.
Effendi, M. Rahmat. Januari – Maret 2003. Pemikiran Politik Islam di Indonesia;  antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru)”. Volume Xix No 1.
Hamid, Abdul dan Yaya. 2010. Pemikiran Modern dalam Islam. Babdung: Pustaka Setia.
Jawahir, Muhammad. 2016. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam”. Skripsi: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
Kurzman, Charles. 2003. Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporel tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina.
Prayetno, Budi. 2017. Konsep Sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”. Sulesana Vol 11. No 2.
Putra, Okrisal Eka. Juli-Desember 2008. “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baku”. Jurnal Dakwah Vol IX. No 2.
Romli, Lili. 2004. “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik. Vol l, No 1.
-----------. Peta Kekuatan Politik Hasil Pemilu 2009, Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:00
Wijaya, Aksin. 2014. Satu Islam Ragam Epistemologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tribun News.com. Rabu 9 April 2014 20:25. Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:07.



[1] M. Rahmat Effendi, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia:  antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru)”, (Volume Xix No. 1 Januari – Maret 2003), 89.
[2] Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, (Jurnal Penelitian Politik, Vol l, No 1, 2004), 30
[3] Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, 33.
[4] M. Rahmat Effendi, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia:  antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru)”, 90.
[5] Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, 33.
[6] Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, 33.
[7] Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, 45.
[8] Lili Romli, Peta Kekuatan Politik Hasil Pemilu 2009, Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:00.
[9] Tribun News.com, Rabu 9 April 2014, 20:25, Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:07.
[10] Zainal Abidin, “Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi antara Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemoderenan”, (Humaniora, Vol 5, No 2, Oktober 2014), 667.
[11] Muhammad Jawahir, “Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam”, (Skripsi: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016), 44.
[12] Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),174.
[13] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Babdung: Pustaka Setia, 2010), 417.
[14] Okrisal Eka Putra, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baku”, (Jurnal Dakwah, Vol IX, No 2, Juli-Desember 2008), 189.
[15] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporel tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina,2003), 486.
[16] Budi Prayetno, “Konsep Sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, (Sulesana Vol 11, No 2, Tahun 2017), 7.
[17] Budi Prayetno, “Konsep Sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, 8.
[18] Nurcholis Majid mencoba mengambil sisi positif dari kata sekuler pada dimensi kebahasaan dan sisi sosiologis. Dari segi kebahasaan, sekularisasi berasal dari bahasa Latin saeculum yang artinya zaman sekarang. Sedangkan dari segi sosiologis, sekularisasi dimaknai proses penduniawian, pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Nurcholish Majid membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, dalam pandangan Nurcholish Majid sekularisme merupakan paham keduniawian, kepercayaan mutlak pada kemampuan manusia dan menjadi ideology tertutup; sedangkan sekularisasi merupan proses penduniawian, mengikuti wewenang ilmu pengetahuan dan bersifat dinamis dengan cirri-ciri pembeda :
“Sekularisasi” tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme sebab “secularism” is the name for an ideology, a new closed worldview which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transenden dan mana yang temporal.
Dengan demikian sekolarisasi tidak bermaksud untuk “memisahkan” melainkan untuk “membedakan” dalam pandangan Nurcholish Majid tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Yang dimaksudkan dengan kekularisasi adalah untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan kecenderungan umat Islam dari kecenderungan menhukhrawikan-nya. Sikap seperti ini diharapkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di Bumi. (Lihat: Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal)
[19] Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi, 177.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemahaman Bermakna dan Pertanyaan Pemantik

Perencanaan Pembelajaran SD/ Paket A

Kumpulan Soal Budaya Melayu Riau (BMR) Kelas VI

Hadits Tarbawi tentang Peran Orangtua dalam Pendidikan

Merdeka Belajar; Asas Trikon

Materi Sekolah Islam Gender (SIG)

Asas Trikon

Hari Anak Nasional (HAN) 2022