Paradigma; Islam Yes, Partai Islam No
Paradikma; Islam Yes, Partai Islam No
Oleh: Meta Ratna Sari dan Wulan A. Br. Tarigan
A. Pendahuluan
Agama dan politik merupakan dua aspek fundamental dalam
kehidupan manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya juga telah menjadi
bahan pemikiran para cendikiawan. Hubungan antara agama dan politik selalu menarik untuk
dikaji, karena keduanya sama-sama memainkan peran penting dalam kehidupan
manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola kehidupan politik, berkembanglah pemikiran
politik Islam yang beragam. Satu diantara pemikiran politik Islam yang menjadi
perhatian masyarakat Indonesia adalah pemikiran bersifat
rasional dan fungsional seorang cendikiawan muslim yaitu Nurcholis Majid
Nurcholish Madjid merupakan tokoh pembaharuan pemikiran
Islam yang
tidak hanya
menarik, tetapi juga unik dan membingungkan,
baik dalam wacana pemikiran keagamaan (Islam), budaya, maupun politik di Indonesia. Nurcholish Madjid
merupakan sosok yang dinilai kontroversial. memahami pemikiran kontroversi
seorang cendikiawan Muslim, Nurcholis Madjid bukanlah suatu hal yang mudah, karena
beliau selalu memberikan pemikiran pembaharuan yang tak lazim di zamannya.
Terutama dalam bidang politik tulisan-tulisan beliau sangat kompleks dan
materinya boleh dikatakan komprehensif, menarik, tajam, dan selalu mengandung
gagasan-gagasan cerdas.
Pembaharuan pemikiran yang diberikan pada bidang
politik salah satunya adalah gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”. yang
dinilai kontroversi tidak hanya mengundang banyak apresiasi namun juga
resistensi. gagasan yang dilontarkan oleh Nurcholish Majid ini sontak
ditanggapi oleh para tokoh intelektual muslim lainnya. Diantaranya ada yang
memberikan kecaman terhadap gagasan Nurcholis Majid yang dinilai sekular, namun
diantara yang lainnya juga menyambut baik dan mengapresiasi pemikiran beliau
tersebut.
Memahami pemikiran Nurcholish Majid secara
komperhensif bukanlah suatu hal yang mudah, karena latar belakang keilmuan
seorang nurcholish Majid sangatlah komplit. Beliau lahir dari kalangan keluarga
pesantren yang sudah dapat dipastikan memiliki pemahaman agama yang mumpuni.
Pada makalah ini penulis mencoba untuk menbahas sebuah gagasan pemikiran
politik Nurcholish Majid yang disampaikannya dalam forum silatirahmi HMI,
GPI, PII, dan Persami,
mengenai gagasan “Islam
Yes, Partai Islam No
B. Islam dan Politik
Nuansa
politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh karena
itu, menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam ideal
era Nabi SAW bukanlah utopia, sebab model itu pernah terbukti dalam sejarah. Setelah
Rasulullah SAW wafat, paradigma politik Islam terus berkembang. Dien
Syamsuddin, mengkatagorisasikannya pada tiga paradigma; Pertama, Agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integrated). Kedua, Agama dan negara berhubungan secara (simbiotik). Ketiga, Islam tidak mempunyai kaitan apaupun dengan sistem pemerintahan (sekularistik).[1]
Paradigma pertama menyatakan bahwa agama
dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena melihat bahwa
Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang di dalamnya bukan
hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Dalam
pandangan kelompok
ini, syari’ah dipahami sebagai totalitas
yang par excelent bagi tatanan
kehidupan
kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena
itu legitimasi politik negara
harus berdasarkan syari’ah.[2]
Paradigma
kedua
menyatakan bahwa
antara agama dan negara saling terkait
dan berhubungan berdasarkan pada
argumen
bahwa agama memerlukan negara karena
dengan negara, agama dapat berkembang.
Begitupun,
negara memerlukan agama
karena dengan agama, negara dapat
berkembang
dalam bimbingan etika dan moral. Sedangkan
paradigma yang Ketiga
adalah paradigma
yang menyatakan
perlunya adanya pemisahan antara
agama dan negara. Paradigma ini menolak
paradigma yang pertama dan paradigma
yang kedua.[3]
Permasalahannya
adalah, apakah
paradigma seperti disebutkan di atas berkembang pula dalam pemikiran
politik Islam di Indonesia? Jika
mengamati dinamika politik Islam
di Indonesia, maka terlihat bahwa politik Islam di Indonesia tidak terlepas dari ketiga
paradigma tersebut meski dengan nuansa yang berbeda. Namun bila
dikwalifikasikan, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma
hubungan antara agama dan negara di Indonesia cenderung berkembang adalah
pemikiran formalistik dan substantivistik. Kelompok formalisme keagamaan cenderung melakukan
politisasi agama, sedangkan kelompok substantivisme keagamaan cenderung
melaksanakan substansi agama ke dalam proses politik.[4]
C. Partai Politik Islam
Genealogi partai politik di Indonesia dimulai sejak keluarnya Maklumat
Wakil Presiden No X tahun 1945 yang memperbolehkan berdirinya partai-partai
politik. Sebagai respon umat Islam dari maklumat tarsebut berdirilah partai
Masyumi yang dimaksudkan sebagai satu-satunya partai yang akan memperjuangkan
aspirasi dan nasib umat islam. Masyumi didukung oleh dua ormas besar Islam
yaitu NU dan Muhammadiyah. Namun dalam perjalanannya, para pendukung Masyumi
keluar satu-persatu bermula dengan keluarnya PSII tahun 1947, Kemudian disusul
oleh NU tahun 1952. Bukan hanya Masyumi, NU, PSII dan Perti, disamping itu berdiri pula PPTI,
dan AKUI. Akibatnya pada pemilu 1955 yang merupakan
pemilu pertama sejak indonesia mardeka, kekuatan politik Islam sudah
terpecah-pecah.[5]
Dampak perpecahan tampakkanya membuat umat Islam menjadi bingung karena siapa
sesungguhnya yang
menjadi representasi dari Islam.
Ini
terjadi karena partai-partai Islam itu
semuanya
mengklaim sebagai perwujudan representasi
dan aspirasi Islam. Hingga hasil pemilu menunjukkan ternyata
partai-partai Islam
tidak memperoleh dukungan suara mayoritas
dari umat Islam. Masyumi hanya memperoleh
suara 20,9%, NU 8,4%, PSII 2,0%,
Perti 1,3%, serta PPTI dan AKUI masing-masing
memperoleh suara 0,2%
Puncak
kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah adalah hasil pemilu pertama
Orde Baru pada 1971, yang membawa kemenangan mutlak kepada Golkar, dengan perolehan 62,80 % suara. Partai Islam memperoleh jatah suara yang kecil.
Hanya NU yang memperoleh jumlah suara relatif besar yaitu: 18,67 %,
sedikit lebih baik dibandingkan dengan perolehan suara NU pada 1955 (18,4 %). Parmusi,
yang digambarkan sebagai pengganti Masumi, benar-benar hancur dan hanya
memperoleh 5,36 %, jauh dari perolehan Masyumi pada Pemilu 1955 (20,9 %).
Partai Islam lain, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti),
masing-masing hanya memperoleh 2,39 % dan 0,70 % suara.[6]
secara sosiologis umat Islam Indonesia mayoritas, tetapi realitas estimasi dan optimisme
pendukung
partai Islam tidak sebanding dengan jumlah
umat Islam itu sendiri, bahkan hanya
sebagian kecil saja. Pada Pemilu 1955,
partai-partai Islam hanya memperoleh suara 43,9%, Pemilu 1971 turun menjadi
27,3%, Pemilu 1977 naik menjadi 29,3%, Pemilu 1982 turun kembali menjadi 27,8%,
Pemilu 1987 turun lagi menjadi 16,0%, Pemilu 1992 tetap 16,0%, Pemilu 1997 naik
menjadi 22,0, Pemilu 1999 (di luar PAN dan PKB) turun menjadi 17,8% dan Pemilu
2004 naik menjadi 21,17%. Meskipun
jumlah
suara dukungan partai-partai Islam
naik-turun
tetapi perolehan suara mereka tidak
dapat menyamai perolehan suara pada
Pemilu 1955. Ini mengindikasikan
bahwa
dukungan umat Islam terhadap partai
Islam terus menurun.[7] Pada pemilu tahun 2009 perolehan suara partai islam
adalah PKS 7,88%, PPP 5,32%, PKNU 1,47%, PBR 1,21% dan PMB 0,40%.[8]
sedangkan pada pemilu tahun 2014 PKS 7,07%, PPP 6,75% dan PBB 1.47%.[9]
Pemilu
|
Partai
|
Suara (%)
|
1955
|
Masyumi,
NU, PSII, Perti, PPTI, dan AKUI
|
43,9
|
1971
|
NU, Parmusi,
PSII, Perti
|
27,1
|
1977
|
PPP
|
29,3
|
1982
|
PPP
|
27,8
|
1987
|
PPP
|
16,0
|
1992
|
PPP
|
16,0
|
1997
|
PPP
|
22,0
|
1999
|
PPP,
PBB, PK, PNU, PP,PPI, Masyumi,
PSII, PKU,KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI,
PSII 1905, PMB, dan PID
|
17,8
|
2004
|
PPP,
PBB, PKS, PBR,dan PPNUI
|
21,17
|
2009
|
PKS, PPP, PKNU, PBR dan PMB
|
16,28
|
2014
|
PKS, PPP dan PBB
|
15,29
|
*PAN dan PKB tidak termasuk sebagai kategori partai Islam karena
kedua partai tersebut tidak berdasarkan pada asas Islam meski basis dukungannya
pemilih Islam.
D. Islam Yes, Partai Islam No?
Sejalan
dengan arah perubahan pola
kehidupan politik,
berkembanglah pemikiran Islam
yang cenderung bersifat rasional dan fungsional. Salah seorang cendikiawan muslim yang terkenal dengan
gagasan pembaharuan pemikiran politik Islam adalah Nurcholoish Majid. Beliau
lahir di
Mojoagung, Jombang,
Jawa Timur, 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Dan berasal dari kalangan keluarga
pesantren, putra seorang guru Madrasah al-Wathaniyah di Jombang, Haji Abdul Madjid, murid
dari KH Hasyim Asy’ari. Dengan demikian tidak dapat diingkari bahwa wawasan intelektual Abdul
Madjid dibentuk oleh guru dan pembimbingn
terutama ketika Abdul Madjid mengikuti KH Hasyim Asy’ari untuk bergabung dalam Masyumi. Dari ayahnya Madjid terintegrasi
dengan pemikiran dan gerakan
NU. Sedangkan
pengaruh Muhammadiyah dapatkan ketika kuliah jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beliau
sering
berinteraksi dengan
Buya Hamka.[10]
Pendidikan
Nurcholish Majid
dimulai dari Sekolah Rakyat (SR), sekolah
resmi
pertama yang didirikan pemerintah Indonesia, dan Madrasah Ibtidaiyah (sore hari) yang didirikan oleh
ayahnya. Setelah tamat SR pada tahun 1952 Ia
melanjutkan
ke pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Namun di sekolahnya ini Nurcholis Majid hanya
dapat bertahan selama dua tahun.
kemudian
pindah ke pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1965).[11]
IAIN Syarif Hidayatullah (BA, Sastra Arab. 1960). IAIN Syarif Hidayatullah (BA,
Sastra Arab. 1968). Dan The University of Chicago, Illinois, Amerika Serikat
(Studi Agama Islam, 1984).[12]
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1970–an, Nurcholish Majid
menjelma menjadi sebuah fenomena sekaligus sosok yang kontoversial. Kontribusi dari pemikirannya menuai apresiasi sekaligus resistensi. Nurcholish Madjid pertama
kali menyampaikan ide-ide pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halal
bilhalal di depan keluarga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam
Indonesia (PII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), dengan judul “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Salah satu diantara cakupan
bahasannya ialah tentang “Islam
Yes, Partai Islam No.[13]
Konsep “Islam Yes, Partai Islam No, tersebut
tentu tidak
lahir dengan begitu
saja dan terkesan tiba-tiba. Dan
juga
tidak lahir dalam ruang sosio histories
yang tidak bermakna. Dalam banyak kasus, pembaharuan selalu muncul dengan
berbagai persoalan yang merupakan kelanjutan dari pembaharuan pemikiran Islam
yang pernah muncul pada masa-masa sebelumnya.[14] Demikian pula halnya dengan ide pembaharuan pemikiran
Islam yang disampaikan oleh Nurcholis Majid tersebut.
Ide tentang
“Islam Yes, Partai Islam No” berasal dari pandangan secara
faktual dan dari pengamatan langsung oleh Nurcholis Majid
terhadap situasi umat Islam pada masa itu. Nurcholish
memformulasikan realitas yang diamatinya itu dengan sebuah pertanyaan; “Sejauh manakah mereka tertarik kepada
partai-partai dan organisasi-organisasi Islam?”. Nurcholish Majid mengatakan,
sudah jelas mereka sama sekali tidak tertarik, kecuali sedikit saja. Sikap
mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan
“Islam Yes, Partai Islam No”. Nurcholish Majid memaparkan jika
partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan,
maka jelas ide-ide tersebut sudah tidak menarik lagi. Dengan kata lain, ide-ide
dan pemikiran Islam itu sekarang sudah memfosildan menjadi using dan kehilangan
dinamika. Lebih dari itu, partai-partai Islam tidak berhasil membangun citra
yang positif dan simpatik. Bahkan yang ada hanyalah citra yang sebaliknya,
banyak diantaranya yang terlibat dalam kasus korupsi.[15]
Gagasan
Nurcholish tersebut kemudian mengundang reaksi yang cukup keras baik dari
kalangan intelektual muda atau kalangan tua. Kalangan muda yang memberi
tanggapan diantaranya
Endang Syaifuddin Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani. Sedangkan
dari kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Abdul Qadir
Djaelani dari kalangan muda misalnya mengatakan bahwa Nurcholish hendak
menganjurkan paham sekuler yang bertentangan dengan Islam. Padahal menurutnya
Islam tidak sejalan dengan sekularisme tersebut.[16]
Sedangkan dari
kalangan tua yang diwakili Rasyidi, ia berpendapat pandangan Nurcholish sangat
naif karena bersumber dari kekacauan berpikir. Bahkan Rasyidi menuduh
Nurcholish sebagai seorang yang mirip dengan Orientalis yang begitu tinggi
kecurigaannya terhadap Islam. Ia juga memperingatkan agar umat Islam khususnya
kalangan muda untuk berhati-hati dengan ide pembaruan Nurcholish. Begitupun
dengan Hamka dan Natsir, meski tidak secara langsung menyebut nama Nurcholish
tapi dalam beberapa pidatonya, ia menganjurkan agar umat Islam lebih
berhati-hati dengan ide pembaruan tersebut. Ia menyeru agar umat Islam lebih
bersatu sehingga cita-cita politik bisa tercapai.
Sebaliknya bagi para pendukung gagasan
Nurcholish lebih memilih untuk diam dan memperkokoh pendiriannya meskipun
bertentangan dengan arus utama. Diantara nama-nama yang mendukung ide
Nurcholish tersebut diantranya Djohan Effendi, Utomo Danajaya, Eky Syahruddin dan Usep Fathuddin. Salah satu dari pendukung gagasan
Nurcholish seperti Dawam Raharjo bahwa mereka lebih memilih melawan arus dan
memberanikan diri melawan umat, karena menurutnya pa yang dikehendaki oleh umat
tersebut bukanlah yang mereka butuhkan. [17]
Menanggapi kontroversi yang berdatangan, Nurcholish Majid menulis
artikel berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan Dikalangan Umat Islam
Indonesia” yang disampaikan dalam acara “Clender of Evens” pada
Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian
Jakarta. Artikel tersebut dimaksudkan untuk menjawab kesalahpahaman terhadap
istilah sekularisasi[18]
yang digunakannya. Dalam artikel tersebut, Nurcholis Majid tidak lagi
menggunakan term sekularisasi melainkan paham apologetik Islam.[19]
E. Refleksi terhadap Gagasan Nurcholish Majid
Pembaharuan pemikiran cendikiawan muslim, Nurcholish majid merupakan
sebuah pemikiran yang selalu hangat untuk dibahas bahkan terus disemarakkan,
terutama bagi para penerus pemikiran beliau. Sebagai seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam dengan gagasan yang cenderung “melawan arus” sudah dapat
dipastikan disetiap gagasannya banyak menuai apresiasi dan resistensi baik
dikalangan masyarakat biasa maupun kaum intelektual.
Pembaharuan pemikiran Nurcholish Majid yang terkesan “melawan arus”
dalam bidang politik salah satunya adalah gagasan beliau tentang “Islam
Yes, Partai Islam No yang disampaikannya dalam acara halal
bilhalal di depan keluarga HMI, GPI, PII, dan Persami di Jakarta. Gagasan yang dinilai sekuler ini sontak
mendapat tanggapan dari masyarakat Indonesia terutama dari kalangan intelektual
muslim.
Pada
dasarnya bila mencermati pemikiran Nurcholish Majid yang bersifat inklusif dan
substansif, maka pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No” bukanlah
sebuah pemikiran yang tanpa dasar. Gagasan “Islam Yes, Partai Islam
No” yang dinilai sekuler juga bukanlah sebuah kontribusi pemikiran tanpa
anotasi. Sekuler yang dimaksudkan oleh Nurcholish Majid adalah sekularisasi
bukan sekularisme, “membedakan” bukan “memisahkan”.
Munculnya
gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” juga tidak terlepas dari
kondisi politik yang terjadi pada saat itu. Bila melihat bagaimana latar
belakang lahirnya pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No”
berangkat dari sebuah temuan dan renungan Nurcholish Majid tentang _sejauh mana
orang tertarik dengan partai Islam_ Nurcholish menyimpulkan bahwa orang tidak
tertarik dengan partai Islam, kecuali hanya sedikit. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kualitas umat Islam yang digadang sebagai umat Islam terbanyak di dunia
tidak dapat membuat perolehan suara partai Islam ungul dalam pemilu__Bahkan
kekalahan suapa partai Islam dapat disaksikan dari masa kemasa disetiap
pemilihan umum. Ditambah lagi dengan kegagalan dari sebagian partai Islam yang
tidak berhasil membangun citra yang positif.
Ide
sekularisasi Nurcholish sebenarnya ditujukan untuk merespon persoalan politik
Indonesia pada tahun 1970-an. Hal ini utamanya karena umat Islam tidak lagi
mampu membedakan mana urusan agama dan negara. Namun bila diperhatikan rangkaian
perkembangan partai islam dari awal hingga pasca reformasi terlihat bahwa
peningkatan islamisasi di indonesia tidak berkorelasi positif dengan
peningkatan perolehan suara partai-partai Islam. Dengan demikian gagasan “Islam
Yes, Partai Islam No” pada kenyataannya masih relevan hingga
sekarang dan akan tetap relevan bila dimaknai secara subtansif meski akan tetap
menuai kontroversial yang berkepanjangan dikalangan intelektual Muslim.
F. Kesimpulan
Pemahaman Islam dan politik dalam pandangan
Dien Syamsuddin, mengkatagorisasikannya pada tiga paradigma; Pertama, Agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integrated). Kedua, Agama dan negara berhubungan secara (simbiotik). Ketiga, Islam tidak mempunyai kaitan apaupun dengan sistem pemerintahan (sekularistik)
Genealogi partai politik di Indonesia
dimulai sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X tahun 1945 yang
memperbolehkan berdirinya partai-partai politik. Sebagai respon umat Islam dari
maklumat tarsebut berdirilah partai Masyumi. Secara
sosiologis umat Islam Indonesia mayoritas,
tetapi realitas estimasi
dan optimisme pendukung partai Islam tidak sebanding dengan jumlah
umat Islam itu sendiri, bahkan hanya
sebagian kecil saja.
Pembaharuan pemikiran Islam dalam bidang
politik yang mengundang reaksi dari berbagai kalangan diantaranya pembaharuan
pemikiran Nurcholish Majid dengan gagasannya tentang “Islam
Yes, Partai Islam No” yang disampaikannya dalam acara halal bilhalal di
depan keluarga HMI, GPI, PII, dan Persami di Jakarta.
Referensi
Abidin, Zainal.
Oktober 2014. “Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi
antara Keislaman, Keindonesiaan, dan
Kemoderenan”. Humaniora. Vol 5. No 2.
Effendi, M. Rahmat. Januari – Maret 2003. “Pemikiran
Politik Islam di
Indonesia; antara
Simbolistik dan
Substantivistik (Kajian
Pra, Masa, dan Pasca
Orde Baru)”. Volume
Xix No 1.
Hamid, Abdul dan Yaya. 2010. Pemikiran Modern dalam
Islam. Babdung: Pustaka Setia.
Jawahir, Muhammad. 2016. “Analisis
Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik
Islam”. Skripsi: Jurusan Jinayah
Siyasah Fakultas
Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
Kurzman, Charles. 2003. Wacana Islam Liberal; Pemikiran
Islam Kontemporel tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina.
Prayetno, Budi. 2017. “Konsep Sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish
Madjid”. Sulesana Vol 11. No 2.
Putra, Okrisal
Eka. Juli-Desember 2008. “Hubungan Islam dan
Politik Masa Orde Baku”. Jurnal Dakwah Vol IX. No 2.
Romli, Lili.
2004. “Partai Islam dan Pemilih Islam di
Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik. Vol l, No
1.
-----------. Peta Kekuatan Politik Hasil
Pemilu 2009, Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:00
Wijaya, Aksin. 2014. Satu Islam Ragam Epistemologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tribun News.com. Rabu 9 April 2014 20:25. Online Diakses pada Minggu 31
Maret 2019 pukul 22:07.
[1] M. Rahmat Effendi, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia: antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra,
Masa, dan Pasca Orde Baru)”, (Volume Xix No. 1 Januari – Maret 2003), 89.
[2]
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, (Jurnal Penelitian Politik, Vol l, No 1, 2004), 30
[4] M. Rahmat
Effendi, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia: antara
Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru)”, 90.
[8] Lili Romli, Peta Kekuatan Politik Hasil Pemilu 2009,
Online Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:00.
[9] Tribun News.com, Rabu 9 April 2014, 20:25, Online
Diakses pada Minggu 31 Maret 2019 pukul 22:07.
[10]
Zainal Abidin, “Teologi
Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi
antara
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemoderenan”, (Humaniora, Vol 5, No 2, Oktober 2014), 667.
[11]
Muhammad Jawahir, “Analisis
Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam”, (Skripsi: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016), 44.
[12]
Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014),174.
[13]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam,
(Babdung: Pustaka Setia, 2010), 417.
[14] Okrisal Eka
Putra, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baku”, (Jurnal Dakwah,
Vol IX, No 2, Juli-Desember 2008), 189.
[15] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran
Islam Kontemporel tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina,2003), 486.
[16] Budi Prayetno, “Konsep Sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish
Madjid”,
(Sulesana Vol 11, No 2, Tahun 2017), 7.
[18] Nurcholis Majid mencoba mengambil sisi positif dari
kata sekuler pada dimensi kebahasaan dan sisi sosiologis. Dari segi kebahasaan,
sekularisasi berasal dari bahasa Latin saeculum yang artinya zaman
sekarang. Sedangkan dari segi sosiologis, sekularisasi dimaknai proses
penduniawian, pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam
membina kehidupan duniawi. Nurcholish Majid membedakan antara sekularisme dan
sekularisasi, dalam pandangan Nurcholish Majid sekularisme merupakan paham
keduniawian, kepercayaan mutlak pada kemampuan manusia dan menjadi ideology
tertutup; sedangkan sekularisasi merupan proses penduniawian, mengikuti
wewenang ilmu pengetahuan dan bersifat dinamis dengan cirri-ciri pembeda :
“Sekularisasi” tidak dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme sebab “secularism” is the name for an ideology, a new closed
worldview which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang
dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses
pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya,
tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana
yang transenden dan mana yang temporal.
Dengan demikian sekolarisasi tidak bermaksud untuk
“memisahkan” melainkan untuk “membedakan” dalam pandangan Nurcholish Majid
tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim
menjadi sekularis. Yang dimaksudkan dengan kekularisasi adalah untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan
kecenderungan umat Islam dari kecenderungan menhukhrawikan-nya. Sikap seperti
ini diharapkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah
Allah di Bumi. (Lihat: Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal)
Komentar
Posting Komentar