Antara cita dan fakta; problematika pendidikan Islam di Indonesia
ANTARA CITA DAN FAKTA: Problematika
Pendidikan Islam di Indonesia
Oleh: Meta Ratna Sari
A.
Pengertian Pendidikan Islam
Agama merupakan bagian penting dalam
perkembangan kehidupan manusia, masyarakat, dan juga negara. Islam sebagai
agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang ajarannya mengatur
keseluruhan aspek kehidupan manusia diantaranya berkaitan dengan masalah
pendidikan. Menurut Dr. Al-Rasyidin, M.A dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A bahwa,
istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term
altarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut, term yang
populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah,
sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Meskipun
menurut Ahmad Syalabi kedua istilah tersebut telah lama digunakan sejak awal
pertumbuhan pendidikan Islam.[1]
Istilah al-Tarbiayah berasal dari kata rabb. Walaupun
kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan
makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya (Abdullah Muhammad, tt:120). Kata rabb
sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah (alhamdulillaahi rabb
al-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah.
Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang
sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik Yang Maha Agung bagi
seluruh alam semesta.[2]
Uraian tersebut secara filosofis
mengisyaratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan
yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Dalam arti yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term
al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan
menjaga fithrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh
potensi menuju kesempurnaan. (3) mengarahkan seluruh fithrah menuju
kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.[3]
Nabi Muhammad juga memberikan makna
pendidikan (al-tarbiyah) dengan istilah
rabbaniyyin dan rabbani seperti berikut ini.
Artinya: “Jadilah kamu para
pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan
predikat “rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu
pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai pada yang lebih tinggi.”
Berdasarkan Hadith tersebut,
al-rabbani diidentikkan dengan altarbiyah, berarti proses transformasi ilmu
pengetahuan yang dilakukan secara bertahap. Proses tersebut dilakukan melalui
pengenalan, hafalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses pemahaman dan
penalaran. Dalam konteks sejarah awal munculnya Islam, pendidik yang pertama
adalah Nabi Muhammad Saw. terutama ketika Nabi selama 13 tahun berada di
Makkah. Dalam hal ini pendidikan dinyatakan sebagai akar kata dari rabba
yurabbi.[4]
Selanjutnya, istilah ta’lim telah
dipergunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para
ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-tarbiyah maupun
al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’lim sebagai proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu (Rasyid Ridha, tt:262). Pendapat tersebut didasarkan pada QS
Al-Baqarah ayat 151:
“Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui”.[5]
Al-Attas mengemukakan bahwa al-ta’dib
adalah yang paling tepat untuk diidentikkan dengan pendidikan. Addaba berarti
mendidik. al-Ta’dib berarti pendidikan. al-Ta’dib, menurutnya adalah penyemaian
adab dalam diri seseorang. Argumentasi alAttas dalam hal ini adalah bahwa
al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi
Muhammad, yang oleh mayoritas kalangan akademik muslim disebut sebagai manusia
sempurna atau manusia universal. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus
merefleksikan manusia sempurna dan manusia universal.[6]
Pendidikan Islam menurut Zakiah
Darajat adalah adalah pembentukan
kepribadian muslim.Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk
ajaran Islam. Muhammad Quthb yang dikutip oleh Abdullah Idi, menyatakan
Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik
maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[7]
al-abrasyi memberikan pengertian
bahwa pendidikan islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tetap jasmaninya, sempurna budi
pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam
pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan. (tt: 100)
Sedangkan menurut ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
islam.[8]
B.
Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa
1.
Pendidikan Islam pada Masa Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas bangsa timur dimulai dengan
perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Selama zaman penjajahan Barat
itu berjalanlah proses westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa Barat memang
telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya untuk meningkatkan
penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang
pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk
menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang
murah jika dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari
Barat.[9]
Kondisi pendidikan bagi umat Islam pada zaman Belanda sangat
memprihatinkan karena terus-menerus mandapatkan tekanan dan perlakuan yang
tidak mengembirakan. Namun demikian, umat Islam secara terus-menerus pula terus
berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidkan Isalam mengelami
kebangkitan dan kemajuan. Dengan berdasar pada dalil al-Quran dan al-Hadits
yang berisi perintah memerangi orang kafir, ditambah lagi dengan sikap belanda
yang menyengsarakan rakyat Indonesia, membuat kaum pesantren menaruh sikap
curiga dan memusuhi Belanda.[10]
Pendidikan Islam pada masa Belanda ada tiga macam, yaitu: system pendidikan
peralihan Hindu Islam, system pendidikan surau (langgar) dan system pendidikan
pesantren.[11]
2.
Pendidikan Islam pada Masa Kolonial Jepang
Dunia pendidikan secara umum terbangkalai, karena murid-murid
sekolah tiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, kerja bakti
(romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih beruntung adalah
madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari
pangaruh langsung pemerintah Jepang.[12]
Sistem pendidikan di masa Jepang sangat dipengaruhi motif untuk
mendukung kemenangan militer dalam peperangan pesifik. Setelah Februari 1942
menyerang Sumatera Selatan, jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
memaksa Belanda menyerah pada maret 1942. Sejak itu Jepang kemudian menerapkan
beberapa kebijakan terkait pendidikan yang mempunyai implikasi luas terutama
bagi system pendidikan, diantaranya dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda dan adanya
integrasi system pendidikan dengan dihapuskan system pendidikan berdasarkan
kelas social di era penjajahan Belanda.[13]
3.
Pendidikan Islam pada Masa Orde Lama
Keadaan pendidikan Islam pada saat ini belum mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Adanya perlawanan ideologis politis dari
sebagian elit Islam menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak suka pada pemerintah terhadap umat Islam.perang dingin
yang terjadi antara elit Islam dengan pemerintah menyebabkan pemerintah
barsikap setengah hati terhadap nasib pendidkan Islam. Namun demikian, adanya
sebagian elit muslim yang berpandangan progresif, modern dan nasionalis
terutama kaum muslim yang telah tersentuh oleh pendidikan dan pengalaman dunia
moderm, misalnya tokoh dan intelektual muslim yang mendapatkan pendidikan dari
negara maju telah mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pemerintah.
Dengan duduknya elit muslim yang progresif dan sejalan dengan visi, misi dan
tujuan pemearintah menyebabkan ada pula usaha-usaha yang dilakukan pemerintah
orde lama terhadap kepentingan pendidikan Islam.[14]
Keadaan pendidikan islam pada masa itu benar-benar
membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah
membuat kebijakan-kebijakan, kebijakan itu adalah: mendirikan Departemen Agama,[15]
mengeluarkan sejumlah kebijakan berupa peraturan dan perundang-undangan yang
ada hubungannya dengan pendidikan agama,[16]
memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam
seperti madrasah dan pesantren[17]
dan memberikan bantuan fasilitas dan sumbangan material kepada lembaga-lembaga
pendidikan Islam seperti mengenkat guru agama, membantu biaya pembangunan
madrasah, bantuan buku-buku pelajaran, me-negeri-kan madrasah dan bantuan
lainnya, walaupun masih amat terbatas sesuai dengan kemampuan ekonomi pada saat
itu.[18]
4. Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir
pada zaman orde baru, termasuk dalam bidang pendidikan, diarahkan pada penopang
pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomidengan
pendekatan yang sentralistik, monoloyalitas dan monopoli. Kebijakan dalam
bidang pendidikan bisa dilihat dari masuknya pendidikan. Pertama, Islam
masuk kedalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan lahirnya Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri), yaitu menteri Pendidikan
Nasional, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri. Di dalam SKB 3 Menteri
dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum
dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan sarana dan presarana, biaya dan
diakui ijazahnya, Kedua, pembaharuan madrasah dan pesantren, baik dalam
aspek fisik maupun nonfisik,[19] Ketiga,
pemberdayaan pendidikan Islam nonformal, Keempat, peningkatan
atmosfer dan suasana prektika sosial keagamaan.
5. Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi
hanya melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dimulai sejak tahun
1994 serta melakukan perbaikan sistem pendidikan agar lebih demokratis.[20] Jika melihat pendapat Muhaimin, maka akan tampak adanya perbedaan dan
pemisah antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang
provan antara dunia dan akhirat.cara pandang yang memisahkan antara yang satu
dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya dikotomik
inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan
pendidikan Islam. Mencermati kenyataan tersebut, maka mau tidak mau persoalan
konsep dualise-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan
baik pada tingkat filosofis paradikmatik maupunteknis depertemental. Langkah
awal yang harus dilakkan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah
merumuskan kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam
kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari
terlajsananya dalam konteks lingkungan.[21]
C. Hakekat Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena manusia di saat
dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun sebagaimana firman Allah dalam
al-Quran surah ayat 2:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu,
tidak mengetahui sesuatu” (Q.S.)
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas
manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan
komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab
pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.[22]
Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertunbuhan serta perkembangan fitrah
(kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya.[23]
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding)
kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering
diartikan dengan ”menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan
kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam maka harus berproses melalui
sistem pendidikan Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui sistem
kurukuler.[24]
Dan akhirnya pendidikan berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
bagi dirinya, masyarakat dan negara. [25]
D.
Tujuan Pendidikan Islam
Dilihat dari ilmu pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara
bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang
dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan
pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.[26]
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly,
tujuan pendidikan Islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi
peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung
jawabnya dalam kehidupan ini; (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk
sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat; (3)
menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta; (4) menjelaskan hubungannya
dengan Khalik sebagai pencipta alam semesta.[27]
Rumusan yang ditetapkan dalam
kongres sedunia tentang pendidikan Islam sebagai berikut: Educated should
aim at the balanced growth of total personality of man through the training of
man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education
should therefore cater for the growth of
man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical,
scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these
aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of
education lies in the realization of complete submission to Allah on the level
of individual, the community and humanity at large.
Rumusa tersebut menunjukkan bahwa
pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam. Seluas dan sedalam
kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial
yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agamanya. Oleh karena itu, pendidikan
Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui
latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indra. Pendidikan
harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (secara perorangan
maupun secara kelompok). Pendidikan tersebut harus mendorong semua aspek kearah
keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.[28]
Menurut tugas dan fungsinya secara
filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut:
1)
Tujuan
individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan
mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat;
2)
Tujuan
social yang berhubungan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan
tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang
diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya;
3)
Tujuan
profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta
sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses pendidikan, ketiga
tujuan di atas dicapai secara integral, tidak terpisah, sehingga dapat
mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran Islam.[29]
E.
Tanggung Jawab Pendidikan
Dalam bagian ini kita tidak membicarakan siapa yang
bertanggung jawab tentang pelaksanaan pendidikan anak, melainkan siapa yang
bertanggung jawab terhadap hasil dari pendidikan yang telah diberikan itu.
Maka sekarang timbullah masalah,
siapakah yang harus mempertanggungjawabkan hasil dari pendidikan itu?
Pendidikankah yang harus mempertanggungjawabkannya? Atau anak didiklah yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan yang telah diterimanya itu?
Untuk menentukan siapa yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil pendidikan itu, perlu kita mengadakan
pembedaan terhadap obyek pembedaan itu. Yaitu kepada siapa pendidikan itu
diberikan.[30]
Berdasarkan kepada siapa pendidikan
itu diberikan kita bedakan pendidikan itu dalam dua macam, yaitu pendidikan
anak-anak dan pendidikan orang dewasa. Yang dimaksud dengan pendidikan anak
ialah pendidikan yang diberikan kepada anak, anak yang mempunyai sifat
kekanakan, anak yang mempunyai hakekat sebagai sub species adolescentiane.
Yaitu anak yang disamping mempunyai sifat-sifat tidak berdaya, serba masih
menggantungkan diri pada orang lain juga marupakan anak sebagai calon orang
dewasa, dimana di dalamnya terdapat kekuatan, terdapat dorongan, terdapat
naluri untuk mengembangkan dirinya menuju kedewasaan.
Dengan sifat-sifat anak seperti
diuraikan di atas, maka tanggung jawab pendidikan adalah seluruhnya terletak
pada pendidik. Pendidik memikul tanggung jawab sepenuhnya pada hasil
pendidikannya, pendidikan dari anak didiknya.
Di samping itu, anak didik yang
masih merupakan seorang anak itu, sebenarnya belum mempunyai nilai dan fungsi
dari pendidikan. Anak belum mempunyai kesadaran tentang apa tujuan dari
pendidikan, apa tujuan dari bersekolah, apa tujuan dari belajar dan sebagainya.
Berdasarkan pada kesadaran anak yang demikian itu pula menyebabkan, bahwa
pendidikanlah yang bertanggung jawab pada hasil pendidikan anak.
Pada pendidikan anak yang menjadi
obyek pendidikan adalah anak, anak serba tak berdaya dan serba menggantungkan
diri pada orang lain, anak yang belum mempunyai sifat-sifat sebagai orang
dewasa, maka berbeda keadaannya dengan pendidikan orang dewasa. Yang menjadi
obyek pendidikan di sini adalah orang-orang yang telah dewasa. Sebagai orang
yang telah dewasa, maka ia harus bertanggung jawab terhadap akibat dari semua
tingkah laku perbuatannya. Termasuk di dalamnya ialah seluruh kegiatannya dalam
proses pendidikan. Sehingga, pada pendidikan orang dewasa, si terdidik bukanlah
semata-mata merupakan obyek dari pendidikan saja, tetapi juga merupakan subyek
yang ikut aktif dalam proses pendidikan. [31]
Secara singkat dapat disimpulkan
bahwa, pada pendidikan anak maka tenggung jawab pendidikan adalah sepenuhnya
terletak pada para pendidik dan pada pendidikan dewasa si pendidik sendiri bertanggung jawab sepenuhnya
atas pendidikannya.[32]
F.
Analisis Pendidikan di Indonesia
Beberapa hasil survei dan dan riset
yang dilakukan lembaga-lembaga dunia yang kredibilitasnya dapat
dipertanggungjawabkan, manggambarkan bahwa kredibilitas bangsa Indonesia di
mata masyarakat dunia tidak semakin memuncak, tetapi justru semakin memudar
dalam beberapa tahun terakhir ini. Berbagai publikasi yang dikeluarkan oleh
organisasi Internasional, baik lembaga formal seperti Bank Dunia maupun lembaga
nonformal seperti LSM, yang telah member gambaran yang lebih konkret mengenai
hal tersebut..
Hasil studi PERC, Political and
Economical Risk Consultancy (2011), menempatkan Indonesia diurutan ke-12
dari 12 negara di Asia. Dalam hal ini Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand,
dan sebagainya, lagi-lagi diatas kita. Jika dicermati, publikasi World Bank
(WB), UNDP, UNESCO, USAID, Asian Week dan badan-badan internasional lainnya
hampir tidak ada yang dapat menjelaskan prestasi terbaik bangsa kita dibidang
ekonomi, politik, sosial, dan bidang-bidang lainnya beberapa tahun belakangan ini.[33]
Seandainya kita mempunyai generasi
yang tangguh, generasi yang berkemauan tulus, dan berkemampuan professional,
tentu saja kita dapat bengkit dari keterpurukan. Apabila di dalam realitasnya
kita belum sanggup keluar dari krisis itu,
berarti generasi kita memang kurang tangguh untuk menghadapi krisis.
Kekurang tangguhan generasi kita
dapat dicermati dari laporan UNDP, United Nations Development Programme, dalam “Human
Development Report 2005” tentang kualitas pembangunan Indonesia. Dari 174
negara yang diurutkan berdasarkan kualitas manusia atau bangsanya, Indonesia
hanya berada pada peringkat ke-112. sebagai perbandingan,
[1]
Rosita Baiti, Jurnal Pendidikan Nasional Perspektif Pemikiran Pendidikan
Islam, No. XXVI/ Th.XIV/
2013, hlm 19.
Vol 11,
No 2, 2011, hlm 240-241.
Dinamika Ilmu, Vol 13, No 2, 2013, hlm 164.
No 2, 2015, hlm 420.
Edukasi, 2014),
hlm 149.
Publishing, 2013), hlm209.
Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2003), hlm22
[28] Ibid,
hlm 28.
[29] Ibid,
hlm 29.
[30] Amir
Danien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya:Usaha Nasional,
1973), hlm 134.
[31] Ibid,
hlm 135-136.
[32] Ibid,
hlm 137.
[33]
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm
130.
Komentar
Posting Komentar