Antara cita dan fakta; problematika pendidikan Islam di Indonesia



ANTARA CITA DAN FAKTA: Problematika Pendidikan Islam di Indonesia
Oleh: Meta Ratna Sari

A.    Pengertian Pendidikan Islam
Agama merupakan bagian penting dalam perkembangan kehidupan manusia, masyarakat, dan juga negara. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang ajarannya mengatur keseluruhan aspek kehidupan manusia diantaranya berkaitan dengan masalah pendidikan. Menurut Dr. Al-Rasyidin, M.A dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A bahwa, istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term altarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut, term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah, sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Meskipun menurut Ahmad Syalabi kedua istilah tersebut telah lama digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[1]
 Istilah al-Tarbiayah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya (Abdullah Muhammad, tt:120). Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah (alhamdulillaahi rabb al-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.[2]
 Uraian tersebut secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam arti yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fithrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3) mengarahkan seluruh fithrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.[3]
Nabi Muhammad juga memberikan makna pendidikan (al-tarbiyah) dengan  istilah rabbaniyyin dan rabbani seperti berikut ini.
Artinya: “Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan predikat “rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai pada yang lebih tinggi.”
Berdasarkan Hadith tersebut, al-rabbani diidentikkan dengan altarbiyah, berarti proses transformasi ilmu pengetahuan yang dilakukan secara bertahap. Proses tersebut dilakukan melalui pengenalan, hafalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses pemahaman dan penalaran. Dalam konteks sejarah awal munculnya Islam, pendidik yang pertama adalah Nabi Muhammad Saw. terutama ketika Nabi selama 13 tahun berada di Makkah. Dalam hal ini pendidikan dinyatakan sebagai akar kata dari rabba yurabbi.[4]
Selanjutnya, istilah ta’lim telah dipergunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu (Rasyid Ridha, tt:262). Pendapat tersebut didasarkan pada QS Al-Baqarah ayat 151:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.[5]
Al-Attas mengemukakan bahwa al-ta’dib adalah yang paling tepat untuk diidentikkan dengan pendidikan. Addaba berarti mendidik. al-Ta’dib berarti pendidikan. al-Ta’dib, menurutnya adalah penyemaian adab dalam diri seseorang. Argumentasi alAttas dalam hal ini adalah bahwa al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad, yang oleh mayoritas kalangan akademik muslim disebut sebagai manusia sempurna atau manusia universal. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus merefleksikan manusia sempurna dan manusia universal.[6]
Pendidikan Islam menurut Zakiah Darajat adalah  adalah pembentukan kepribadian muslim.Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Muhammad Quthb yang dikutip oleh Abdullah Idi, menyatakan Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[7]
al-abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tetap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan. (tt: 100) Sedangkan menurut ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.[8]
B.     Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa
1.      Pendidikan Islam pada Masa Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas bangsa timur dimulai dengan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya untuk meningkatkan penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah jika dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.[9]
Kondisi pendidikan bagi umat Islam pada zaman Belanda sangat memprihatinkan karena terus-menerus mandapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak mengembirakan. Namun demikian, umat Islam secara terus-menerus pula terus berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidkan Isalam mengelami kebangkitan dan kemajuan. Dengan berdasar pada dalil al-Quran dan al-Hadits yang berisi perintah memerangi orang kafir, ditambah lagi dengan sikap belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia, membuat kaum pesantren menaruh sikap curiga dan memusuhi Belanda.[10] Pendidikan Islam pada masa Belanda ada tiga macam, yaitu: system pendidikan peralihan Hindu Islam, system pendidikan surau (langgar) dan system pendidikan pesantren.[11]

2.      Pendidikan Islam pada Masa Kolonial Jepang
Dunia pendidikan secara umum terbangkalai, karena murid-murid sekolah tiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, kerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pangaruh langsung pemerintah Jepang.[12] 
Sistem pendidikan di masa Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan pesifik. Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada maret 1942. Sejak itu Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang mempunyai implikasi luas terutama bagi system pendidikan, diantaranya dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda dan adanya integrasi system pendidikan dengan dihapuskan system pendidikan berdasarkan kelas social di era penjajahan Belanda.[13]   

3.      Pendidikan Islam pada Masa Orde Lama
Keadaan pendidikan Islam pada saat ini belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Adanya perlawanan ideologis politis dari sebagian elit Islam menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak suka pada pemerintah terhadap umat Islam.perang dingin yang terjadi antara elit Islam dengan pemerintah menyebabkan pemerintah barsikap setengah hati terhadap nasib pendidkan Islam. Namun demikian, adanya sebagian elit muslim yang berpandangan progresif, modern dan nasionalis terutama kaum muslim yang telah tersentuh oleh pendidikan dan pengalaman dunia moderm, misalnya tokoh dan intelektual muslim yang mendapatkan pendidikan dari negara maju telah mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pemerintah. Dengan duduknya elit muslim yang progresif dan sejalan dengan visi, misi dan tujuan pemearintah menyebabkan ada pula usaha-usaha yang dilakukan pemerintah orde lama terhadap kepentingan pendidikan Islam.[14]
Keadaan pendidikan islam pada masa itu benar-benar membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan-kebijakan, kebijakan itu adalah: mendirikan Departemen Agama,[15] mengeluarkan sejumlah kebijakan berupa peraturan dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pendidikan agama,[16] memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren[17] dan memberikan bantuan fasilitas dan sumbangan material kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti mengenkat guru agama, membantu biaya pembangunan madrasah, bantuan buku-buku pelajaran, me-negeri-kan madrasah dan bantuan lainnya, walaupun masih amat terbatas sesuai dengan kemampuan ekonomi pada saat itu.[18]

4.      Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir pada zaman orde baru, termasuk dalam bidang pendidikan, diarahkan pada penopang pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomidengan pendekatan yang sentralistik, monoloyalitas dan monopoli. Kebijakan dalam bidang pendidikan bisa dilihat dari masuknya pendidikan. Pertama, Islam masuk kedalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri), yaitu menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri. Di dalam SKB 3 Menteri dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan sarana dan presarana, biaya dan diakui ijazahnya, Kedua, pembaharuan madrasah dan pesantren, baik dalam aspek fisik maupun nonfisik,[19] Ketiga, pemberdayaan pendidikan Islam nonformal, Keempat, peningkatan atmosfer dan suasana prektika sosial keagamaan.

5.      Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan sistem pendidikan agar lebih demokratis.[20] Jika melihat pendapat Muhaimin, maka akan tampak adanya perbedaan dan pemisah antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang provan antara dunia dan akhirat.cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Mencermati kenyataan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualise-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan baik pada tingkat filosofis paradikmatik maupunteknis depertemental. Langkah awal yang harus dilakkan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari terlajsananya dalam konteks lingkungan.[21]

C.    Hakekat Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena manusia di saat dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surah ayat 2:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, tidak mengetahui sesuatu” (Q.S.)
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.[22]
Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertunbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[23]
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan ”menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam maka harus berproses melalui sistem pendidikan Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui sistem kurukuler.[24]
Dan akhirnya pendidikan berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat dan negara. [25]

D.    Tujuan Pendidikan Islam
Dilihat dari ilmu pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.[26]
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini; (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat; (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta; (4) menjelaskan hubungannya dengan Khalik sebagai pencipta alam semesta.[27]
Rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia tentang pendidikan Islam sebagai berikut: Educated should aim at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should  therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.
Rumusa tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam. Seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agamanya. Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indra. Pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (secara perorangan maupun secara kelompok). Pendidikan tersebut harus mendorong semua aspek kearah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.[28]
Menurut tugas dan fungsinya secara filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut:
1)      Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat;
2)      Tujuan social yang berhubungan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya;
3)      Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses pendidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran Islam.[29] 

E.     Tanggung Jawab Pendidikan
Dalam  bagian ini kita tidak membicarakan siapa yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan pendidikan anak, melainkan siapa yang bertanggung jawab terhadap hasil dari pendidikan yang telah diberikan itu.
Maka sekarang timbullah masalah, siapakah yang harus mempertanggungjawabkan hasil dari pendidikan itu? Pendidikankah yang harus mempertanggungjawabkannya? Atau anak didiklah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yang telah diterimanya itu?
Untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hasil pendidikan itu, perlu kita mengadakan pembedaan terhadap obyek pembedaan itu. Yaitu kepada siapa pendidikan itu diberikan.[30]
Berdasarkan kepada siapa pendidikan itu diberikan kita bedakan pendidikan itu dalam dua macam, yaitu pendidikan anak-anak dan pendidikan orang dewasa. Yang dimaksud dengan pendidikan anak ialah pendidikan yang diberikan kepada anak, anak yang mempunyai sifat kekanakan, anak yang mempunyai hakekat sebagai sub species adolescentiane. Yaitu anak yang disamping mempunyai sifat-sifat tidak berdaya, serba masih menggantungkan diri pada orang lain juga marupakan anak sebagai calon orang dewasa, dimana di dalamnya terdapat kekuatan, terdapat dorongan, terdapat naluri untuk mengembangkan dirinya menuju kedewasaan.
Dengan sifat-sifat anak seperti diuraikan di atas, maka tanggung jawab pendidikan adalah seluruhnya terletak pada pendidik. Pendidik memikul tanggung jawab sepenuhnya pada hasil pendidikannya, pendidikan dari anak didiknya.
Di samping itu, anak didik yang masih merupakan seorang anak itu, sebenarnya belum mempunyai nilai dan fungsi dari pendidikan. Anak belum mempunyai kesadaran tentang apa tujuan dari pendidikan, apa tujuan dari bersekolah, apa tujuan dari belajar dan sebagainya. Berdasarkan pada kesadaran anak yang demikian itu pula menyebabkan, bahwa pendidikanlah yang bertanggung jawab pada hasil pendidikan anak.
Pada pendidikan anak yang menjadi obyek pendidikan adalah anak, anak serba tak berdaya dan serba menggantungkan diri pada orang lain, anak yang belum mempunyai sifat-sifat sebagai orang dewasa, maka berbeda keadaannya dengan pendidikan orang dewasa. Yang menjadi obyek pendidikan di sini adalah orang-orang yang telah dewasa. Sebagai orang yang telah dewasa, maka ia harus bertanggung jawab terhadap akibat dari semua tingkah laku perbuatannya. Termasuk di dalamnya ialah seluruh kegiatannya dalam proses pendidikan. Sehingga, pada pendidikan orang dewasa, si terdidik bukanlah semata-mata merupakan obyek dari pendidikan saja, tetapi juga merupakan subyek yang ikut aktif dalam proses pendidikan. [31]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, pada pendidikan anak maka tenggung jawab pendidikan adalah sepenuhnya terletak pada para pendidik dan pada pendidikan dewasa si  pendidik sendiri bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikannya.[32]  

F.     Analisis Pendidikan di Indonesia
Beberapa hasil survei dan dan riset yang dilakukan lembaga-lembaga dunia yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan, manggambarkan bahwa kredibilitas bangsa Indonesia di mata masyarakat dunia tidak semakin memuncak, tetapi justru semakin memudar dalam beberapa tahun terakhir ini. Berbagai publikasi yang dikeluarkan oleh organisasi Internasional, baik lembaga formal seperti Bank Dunia maupun lembaga nonformal seperti LSM, yang telah member gambaran yang lebih konkret mengenai hal tersebut..
Hasil studi PERC, Political and Economical Risk Consultancy (2011), menempatkan Indonesia diurutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Dalam hal ini Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan sebagainya, lagi-lagi diatas kita. Jika dicermati, publikasi World Bank (WB), UNDP, UNESCO, USAID, Asian Week dan badan-badan internasional lainnya hampir tidak ada yang dapat menjelaskan prestasi terbaik bangsa kita dibidang ekonomi, politik, sosial, dan bidang-bidang lainnya beberapa tahun belakangan ini.[33]    
Seandainya kita mempunyai generasi yang tangguh, generasi yang berkemauan tulus, dan berkemampuan professional, tentu saja kita dapat bengkit dari keterpurukan. Apabila di dalam realitasnya kita belum sanggup keluar dari krisis itu,  berarti generasi kita memang kurang tangguh untuk menghadapi krisis.
Kekurang tangguhan generasi kita dapat dicermati dari laporan UNDP, United Nations Development Programme, dalam “Human Development Report 2005” tentang kualitas pembangunan Indonesia. Dari 174 negara yang diurutkan berdasarkan kualitas manusia atau bangsanya, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-112. sebagai perbandingan, 



      [1] Rosita Baiti, Jurnal Pendidikan Nasional Perspektif Pemikiran Pendidikan Islam, No. XXVI/ Th.XIV/
 2013, hlm 19.
      [2]Ibid.
      [3] Ibid.
      [4] As’aril Muhajir, Jurnal Tujuan Pendidikan dalam Perspektif al-Quran,
 Vol 11, No 2, 2011, hlm 240-241.
     [5] Rosita Baiti, Loc.Cit.
       [6] As’aril Muhajir, Op.Cit, hlm267.
       [7] Fathul Jannab, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jurnal
Dinamika Ilmu, Vol 13, No 2, 2013, hlm 164.
       [8] Fu’ad Arif Noor, Islam dalan Perspektif Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam, Vol 3,
No 2, 2015, hlm 420.
       [9] Lisdawati. Zuhairansyah Arifin, Sejarah Pendidikan Islam, (Pekanbaru:Kreasi
 Edukasi, 2014), hlm 149.
       [10] Abuddin Nata, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2011), hlm 275.
      [11] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm 249.
   [12] Zuhairini.dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm 151.
   [13] Zuhairansyah Arifin, Sejarah Pendidikan Islam, (Pekanbaru: Educationmattersmost
Publishing, 2013), hlm209.
   [14]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 318.
   [15]Ibid,  
     [16] Ibid, hlm 319.
     [17] Ibid, hlm 321.
     [18] Ibid, hlm 322.
     [19] Ibid, hlm 335.
     [20] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos, 1999), hlm 103.
    [21] Zuhairansyah Arifin, Op.Cit, hlm 241.
    [22] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 2015), hlm 28.
    [23] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm22
   [24] Ibid.
   [25] Ramayulis, Op.Cit, hlm 30.
   [26] Arifin, Op.Cit, hlm 27.
   [27] Nur Hidayat, Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam di Era Global, Jurnal el-Tarbawi, (Yogyakarta: Vol VIII No 2, 2015), hlm 153.
[28] Ibid, hlm 28.
[29] Ibid, hlm 29.
[30] Amir Danien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya:Usaha Nasional, 1973), hlm 134.
[31] Ibid, hlm 135-136.
[32] Ibid, hlm 137.
[33] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm 130.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemahaman Bermakna dan Pertanyaan Pemantik

Perencanaan Pembelajaran SD/ Paket A

Kumpulan Soal Budaya Melayu Riau (BMR) Kelas VI

Hadits Tarbawi tentang Peran Orangtua dalam Pendidikan

Merdeka Belajar; Asas Trikon

Materi Sekolah Islam Gender (SIG)

Asas Trikon

Hari Anak Nasional (HAN) 2022